Bertualang di Alam Safari

Pagi itu, fajar masih menggantung di ufuk timur. Hawa sejuk langsung menusuk kulit ketika kami mengawali perjalanan. Waktu masih menunjukkan pukul 06.15. Tujuan kami adalah Taman Safari Indonesia (TSI).

Awal Perjalanan

Kesunyian pagi menarik kami untuk melakukan sedikit pemanasan. Dengan celana pendek dan kaos yang diselimuti jaket, kami memulai petualangan tepat di depan Universitas Pakuan. Untuk menghindari angkot yang ngetem, kami berjalan kaki sampai jembatan tol, lalu menumpang angkot 06 dan disambung angkot 01 menuju Ciawi, masing-masing bertarif Rp 2000. Sampai di Ciawi, suasana lalu-lintas sudah cukup ramai, padahal baru pukul tujuh kurang.

Dengan kekhawatiran terjebak macet, kami menyetop angkot 05 jurusan Ciawi-Cisarua. Ternyata kekhawatiran kami tidak terbukti, kecuali beberapa kemacetan kecil di beberapa titik. Perjalanan kami terasa menyenangkan walaupun jalan yang kami hadapi menanjak. Lebih dari setengah jam kami menunngu untuk sampai di Cisarua. Waktu itu tidak terasa karena sepanjang perjalanan kami mengobrol, bercanda, dan terkadang ‘memuji’ orang-orang yang kami temui. Akhirnya kami sampai di pertigaan menuju  TSI. Kami merogoh kocek Rp 5000 sebagai jasa angkot tersebut.

Untuk mencapai TSI kami kemudian memilih omprengan daripada ojeg yang tarifnya memang lebih mahal. Setelah membeli sedikit makanan dan minuman kami menumpang omprengan merah. Tidak lama kami menunggu karena  mobil itu segera dipenuhi penumpang, sebagian adalah pegawai TSI. Pukul delapan kurang kami sampai di depan TSI. Alangkah terkejutnya kami karena puluhan mobil sudah terparkir rapi menunggu pintu gerbang TSI dibuka. Kami segera menuju pusat informasi untuk menanyakan beberapa hal sambil melihat berbagai cenderamata yang dipajang di sana. Sekitar setengah jam kami menunggu sambil berfoto sejenak dan mempelajari peta TSI. Akhirnya tepat pukul 08.30 pintu gerbang TSI dibuka. Tiket dewasa dijual seharga Rp 75.000. Kami pun segera membayar dan menuju halte bus. Lima menit kemudian bus pertama pun tampak. Kami langsung naik dan memilih bangku paling belakang.

Memulai Petualangan

Bus itu masih baru, ber-AC, dan memiliki dua LCD  TV yang menayangkan iklan taman safari baru di Bali sepanjang perjalanan. Seperti biasa, kami diajak mengelilingi kandang-kandang,yang dibuat seolah-olah alami, untuk melihat kehidupan beberapa jenis hewan. Kami agak terkejut melihat keadaan binatang yang terawat baik dan dengan asupan makanan yang cukup. Ekologi habitat para satwa pun cukup terpelihara. Hampir satu jam kami menikmati suguhan itu, sambil mengobrol, menguyah makanan ringan, mengabadikan gambar satwa. Akhirnya kami pun sampai halte perhentian bus. Kami turun tepat di sebelah wahana Gajah. Setelah berjalan beberapa meter, kami memutuskan beristirahat sejenak sambil merencanakan akan mengunjungi beberapa wahana yang tersedia di sana.. Kami bersepakat bahwa destinasi utama di TSI  adalah sebuah air terjun, Curug Jaksa, yang letaknya paling jauh dan menanjak, sekitar 1,5 km dari pintu masuk.

Sekilas tidak banyak perubahan yang terjadi di TSI. Dalam ingatan kanak-kanak kami, bagian dalam TSI berisi wahana permainan, seperti taman hiburan di Jakarta.  Kami baru tersadar ketika ketika mulai beranjak dari istirahat kami. Tempat yang pertama kami kunjungi adalah beberapa kandang singa dan macan yang terbuka. Seperti biasa, banyak orang yang berfoto di dekat binatang-binatang itu. Akan tetapi, ironisnya, hanya kami yang sadar bahwa binatang-binatang itu merasa tertekan bila dikelilingi segerombolan manusia. Selanjutnya kami menyempatkan diri mengunjungi saudara tua manusia , orangutan, kuda nil, rakun, dan kuda nil. Kemudian kami bergegas ke rumah hantu. Setelah membeli tiket masuk seharga sepuluh ribu rupiah, kami menaiki kereta yang mengantarkan kami ke dunia misteri. Saya duduk di gerbong paling depan, sendirian. Sedangkan kedua teman saya, duduk di belakang Saya. Kembali kami hanya ingin bernostalgia dengan ingatan masa kanak-kanak kami. Setelah keluar, kami bertanya-tanya, mengapa kami dulu ketakutan setengah mati? Padahal tidak ada yang pantas ditakutkan di dalam sana.

Perjalanan kami lanjutkan ke kandang burung. Di sana terdapat beragam jenis burung yang dilepas bebas. Mereka dengan bebas hinggap dari satu dahan ke dahan yang lain sambil menikmati makanan yang telah disediakan. Namun,  ada juga beberapa burung yang dikunci di dalam sangkar. Kami berjalan terus. Ada beberapa wahana yang akan kami kunjungi. Setelah melangkah beberapa lama, kami sampai di Taman Buaya. Sesuai dengan namanya, ada beberapa jenis buaya yang dipamerkan secara bebas. Tampak oleh kami, ada seorang petugas yang sedang membersihkan kandang buaya. Ia terlihat waspada ketika membersihkan kandang itu, walaupun pada saat itu sang buaya sedang tertidur pulas.

Kami juga singgah di sebuah wahana yang memamerkan binatang-binatang khas Papua. Ada beberapa binatang yang menarik untuk dilihat, seperti Burung Kasuari, kura-kura, kus-kus dan kanguru. Tidak lama kami di tempat itu. Kami bergegas ke persinggahan kami selanjutnya. Wahana Pingguin menarik minat kami. Ternyata cukup sulit untuk membedakan pingguin yang satu dengan pingguin yang lainnya. Untuk menyiasatinya, para petugas kemudian menempelkan cincin-cincin beranekawarna di dua kami bagian depan. Seorang teman juga sempat mengabadikan aktivitas menyelam pingguin di dalam air. Matahari semakin terik, medan yang kami lalui semakin menanjak. Dalam perjalanan itu, kami singgah di wahana yang memamerkan binatang-binatang malam. Ada beragam jenis reptil, seperti ular, kadal, burung dan lain-lain yang dipamerkan di tempat yang didesain berbentuk lorong gelap itu.

Perjalanan kami lanjutkan ke arah utara. Dulu daerah ini belum ada . Kami berjalan terenggah-enggah. Dalam hati, tekad untuk mencapai Curug Jaksa harus tercapai. Beberapa mobil dan kereta yang tersendat-sendat melewati kami. Sebuah tanda yang menunjukkan jarak satu sepertiga kilometer menuju air terjun itu membuat perjalanan terasa berat di tengah kondisi fisik yang mulai menurun. Tanjakan demi tanjakan yang kami lewati semakin menaik. Puluhan anak tangga kami lalui. Medan sama sekali tidak ada di benak kami sejak awal.

Di tengah keputusasaan, akhirnya kami sampai di Curug Jaksa, sebuah air terjun yang yang tidak besar, namun masih terpelihara dengan baik. Beruntung, tidak terlalu banyak orang yang singgah di tempat itu. Seorang teman, tanpa basa-basi menanggalkan ranselnya dan bergegas menuju air terjun itu. Tujuannya cuma satu, membuktikan kamera sakunya tahan air. Konyolnya, kamera itu memang tahan air, tetapi tidak bertahan lama karena rupanya teman saya itu lupa mengisi ulang baterainya. Karena malas melepaskan sepatu, saya tidak ikut bergabung dengan kedua teman saya. Tugas saya hanya mengabadikan foto teman-teman yang kadung bercengkrama di air terjun itu. Beruntung, sebelum meninggalkan curug itu, seorang ibu bersedia mengabadikan gambar kami bertiga dengan latar belakang air terjun itu.

Karena perut kami mulai keroncongan, kami singgah di sebuat tempat makanan ringan. Kami memesan mi instan. Dengan lahap dan dalam tempo singkat, kami menghabiskan makanan ringan itu. Lalu kami bergegas melanjutkan perjalanan. Destinasi kami adalah Wahana Wild Wild West, yang menampilkan cerita koboi dari Negeri Paman Sam. Cukup panjang antrian itu. Waktu tunggu sekitar tigapuluh menit pun terasa karena matahari begitu terik membakan para pengantri. Baru pukul satu pintu gerbang itu dibuka dan kami duduk di kursi panjang baggia depan. Karena kelelahan, pada awalnya saya terkantuk-kantuk menyaksikan pertunjukan itu. Akan tetapi lama-kelamaan, karena adegan demi adegan yang ditampilkan cukup menarik dan menegangkan, mata saya terbelalak. Saya pun mulai menikmati pertunjukkan itu bersama kedua teman saya. Selama setengah jam, kami cukup terhibur dan memberikan salut kepada para pemain pertunjukkan itu.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Karena sudah kelaparan, kami pun turun untuk mencari tempat makan dan ATM.  Setelah beberapa lama berjalan, kami mendapati sebuah wahana yang cukup menarik. Kami memutuskan untuk singgah di wahana itu. Tiket seharga sepuluh ribu kami tebus. Dalam benak kami, wahana flame ride, sebuah perahu air yang ditarik dan kemudian diterjunkan , tidak akan membasahi kami secara serius. Ternyata dalam praktiknya, dugaan itu salah. Setelah terjun, air yang tidak jelas dari mana sumbernya membasahi kami dengan sangat kuyupnya. Kami pun menjadi tontonan banyak orang karena saat itu matahari sedang teriknya.

Akhirnya, kami sampai juga di tempat makan. Kali ini, kami memutuskan untuk memesan makanan berat. Kami memilih masakan Sunda. Sepiring nasi, sepotong ayam, lalab, dan sambal saya habiskan dalam sekejap. Walaupun rasanya tidak terlalu seimbang dengan harganya, namun karena perut kami lapar, kami cukup menikmati makanan itu. Setelah setengah jam kami makan, kami memutuskan untuk meninggalkan TSI karena ada tujuan lain yang akan kami singgahi.

Perjalanan Pulang

Rencana itu tampaknya akan berjalan mulus sebelum angkot yang kami tumpanggi mengetem hampir empat puluh lima menit. Dalam jangka waktu itu, bolak-balik kami ditawari oleh calo untuk membayar ongkos lebih mahal agar omprengan itu segera berjalan. Secara perlahan tapi pasti, satu per satu penumpang mulai memadati kedaraan itu. Tinggal dua kursi yang tersisa. Calo itu datang lagi dan menawarkan membayar ongkos sebesar lima ribu rupiah, lebih mahal seribu rupiah dari harga normal. Para penumpang pun mengiyakan tanda setuju. Kendaraan itu segera meluncur. Kami pun segera sampai di pertigaan  TSI dan memutuskan untuk pulang ke Bogor karena hari sudah mulai gelap.

Beruntung, ada angkutan umum yang bersedia mengantarkan kami ke Sukasari. Jadi, kami dapat menghemat waktu dan ongkos. Lalu lintas di sepanjang jalan sangat padat. Lebih dari satu jam kami menumpang angkot tersebut. Perasaan kami cukup puas. Petualangan hari ini bukan saja membuat kami bernostalgia dengan ingataan masa lalu kami tentang TSI, tetapi juga membuat kami bersemangat kembali untuk melakukan berbagai rutinitas  melelahkan yang telah menunggu kami.

Leave a comment