Sekolah untuk Apa?

Ketika manusia menghembuskan nafasnya untuk pertama kali, sesungguhnya ia telah mulai belajar.Dalam bentuk paling sederhana, seorang bayi misalnya, dalam mengatakan sesuatu cukup mengekspresikannya dengan tangisan. Pun ketika seorang bayi bertansformasi menjadi batita, balita, dan anak-anak ekspresi yang ia tunjukan dalam menghadapi sesuatu semakin beragam. Hal ini sebenarnya menunjukkan satu hal, pengetahuanya mereka akan kehidupan semakin bertambah.

Untuk alasan yang hampir sebagian besar tidak diketahui oleh anak-anak, sekolah kemudian menjadi media formal untuk mengarahkan mereka dalam mendapatkan dan menyerap pengetahuan tetanng kehidupan. Bagi anak-anak sekolah dasar, sekolah adalah tempat bermain dan bersosialisasi, begaul dengan teman sebayanya. Resistensi tentang kegunaan sekolah mulai muncul menginjak remaja atau pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam masa transisi atau yang sering dikatakan ahli kejiwaan sebagai masa pubertas, seorang remaja tidak hanya menjalani tetapi mulai berpikir tentang apa yang dihadapinya sekarang. Salah satu bentuk yang banyak muncul adalah perseteruan antara anak dengan orangtuanya. Pada satu sisi, orang tua menginginkan kondisi ideal, dalam arti seorang anak harus menjadi seorang pelajar yang pandai. Pada sisi lain, seorang anak mulai mempertanyakan apa pentingnya sekolah bagi kehidupannya. Besarnya pertentangan pada fase ini sebenarnya sangat menentukan kehidupan mereka, yang dalam kondisi tertentu dapat berbanding lurus ataupun berbanding terbalik dengan kehidupan yang telah dihadapi sebelumnya.

Pengalaman yang Mahal

Hampir setiap anak pada awalnya tidak menyadari bahwa pendidkan (sekolah) merupakan bentuk pengalaman yang sangat mahal. Artinya, sekolah bukan saja dapat memberikan banyak pengalaman yang merupakan simulasi dalam realitas kehidupan, akan tetapi juga merupakan kesempatan yang tidak dimiliki setiap manusia.

Pencitraan sekolah sebagai kegiatan yang terbatas pada kegiatan akademis yang berlangsung di kelas membuat hampir sebagian siswa yang ‘normal’ merasa sekolah adalah belenggu kehidupan. Hampir semua kegiatan belajar di sekolah selalu identik dengan buku pelajaran dan tulis yang banyak, latihan-latihan di sekolah yang menjemukan dan pekerjaan rumah yang menyita waktu, serta hukuman-hukuman yang menanti apabila tidak memenuhi kewajiban tersebut. Hanya sedikit dan kebanyakan dicap anak malas yang memandang pengetahuan sesungguhnya didapat dari kegiatan-kegiatan non-akademis di kelas dan terutama di luar kelas. Perbedaan cara pandang anak ‘rajin’ dan ‘malas ini membawa implikasi dalam kehidupan selanjutnya. Dalam banyak kasus, walaupun cemerlang dalam hal akademik, seorang anak ‘rajin’ menjadi sukar bergaul ataupun hanya bergaul dengan insan-insan sejenisnya. Sedangkan, seorang anak yang dicap ‘bad boys, walaupun tidak cemerlang dalam bidang akademis, ia hampir selalu dapat membawa diri ke dalam pergaulan yang luas dan dapat dengan lebih cermat mempelajari dinamika kehidupan sehari-hari.

Pada derajat yang lain, sekolah merupakan suatu kesempatan dalam fase kehidupan yang tidak dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini sangat wajar karena pendidikan dari pertama kali muncul bahkan sampai sekarang hanya diperuntukkan bagi si ‘kaya’ atau setidaknya berkecukupan. Dalam konteks historis, misalnya, sekolah-sekolah dasar pertama kali diperuntukkan bagi kelompok sosial atas (kaum ningrat), sekolah raja merupakan salah satu contohnya. Pun demikian, ketika zaman pencerahan (renaissance) terjadi di Indonesia pada awal abad ke-20. Melalui produknya, Politik Etis yang salah satu poinnya adalah memperhatikan kebutuhan pendidikan rakyat. Dalam prakteknya, hanya kelompok sosial tinggi dan sebagian kecil kelas menegahlah yang dapat ‘menikmati’ pendidikan. Ketidakakraban pendidikan bagi masyarakat luas, yang tergolong kelas ‘bawah’ inilah yang mengakibatkan kealpaan tradisi untuk bersekolah. Artinya, belum ada kesadaran bagi sebagian besar masyarakat akan arti penting bersekolah. Di tengah kondisi itu, yang sebenarnya bermaksud baik, ketidakkonsistenan dan sifat instan dalam hampir semua kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan membuat pemahaman tentang substansi pendidikan di tengah masyarakat menjadi tidak sempurna, untuk tidak menyebut melenceng.

Tiga Alasan Bersekolah

Dalam kaitan itu, ada tiga alasan dominan yang merupakan pengkrucutan dalam hubungan antara pendidikan dan kehidupan. Pertama, seseorang oleh karena tidak memahami apa guna pendidikan bagi hidupnya mereka kemudian terombang-ambing dan sebenarnya ingin cepat-cepat menyelesaikan ‘fase bersekolah’, serta terpaksa memperpanjang fase tersebut untuk alasan pengabdian kepada orang tua. Hasilnya, dalam banyak kasus banyak di antara mereka yang menemui banyak hambatan karena ketidakminatannya tersebut. Sebagai contoh, banyak kelompok ini yang kemudian drop out dari sekolah/kampusnya, dapat menyelesaikan pendidikan dengan predikat cukup, ataupunbahkan dapat menyelesaikannya dengan kebingungan yang mendalam.

Alasan kedua muncul dariketidaan tradisi bersekolah yang kemudian dijejali kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat cepat evolutif dibanding revolutif. Akibatnya, sekolah hanya dijadikan sebatas ‘pintu masuk’ ke dunia kerja. Sekolah ya untuk bekerja, begitu seorang penulis Batak melihat fenomena orangtua Batak dalam menyekolahkan anak-anaknya. Ketidaksempurnaan atau bahkan pelencengan ensensi pendidikan ini membuat pendidikan dilakukan untuk sekedar lulus dan mendapat pekerjaan serta penghasilan yang memadai. Hasilnya produk-produk terpelajar di negara lebih senang disebut ‘golongan pegawai’konsumtif, yang lebih sibuk bahkantegila-gila dan cepat menghabiskan uang demi kebutuhan-kebutuhan materi daripada memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas hidup immaterial mereka.

Ketiga, merupakan tujuan yang sangat jarang dimiliki orang yang bersekolah, yaitu sekolah untuk ilmu. Artinya, pendidikan tidak lantas menjebak mereka dengan dunia kerja yang identik dengan pundit-pundi uang. Akan tetapi, pendidikan bagi mereka dilalui setahap demi setahap dengan pemahaman yang mendalam baik dalam bidang akademis dan non-akademis. Selain itu, pendidikan bagi mereka merupakan proses yang tidak pernah berakhir sehingga mereka akan selalu belajar dan terus belajar untuk mencapai hidup yang lebih baik. Untuk mencapai itu, mereka cenderung memilih bergerak di tempat yang luas di mana mereka dapat menyerap ilmu dan menyampingkan uang dan benda material yang membuntutinya.