Media Massa dan Lakon Politik Wakil Rakyat

Gejolak politik dalam negeri yang terjadi dalam kurun waktu enam bulan terakhir semakin mendera kehidupan bangsa ini. Kenyataan ini sungguh mengejutkan mengingat pondasi kekuatan politik pemerintah yang tercipta melalui media pemilu sangat kokoh. Di parlemen partai-partai politik yang berkoalisi dengan pemerintah mendominasi, sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat kepercayaan lebih dari 60 % rakyat Indonesia untuk memimpin negara ini sampai 2014.

Kini, wajah pemerintah SBY menampilkan ambiguitas yang hampir tidak ditemukan dalam sejarah politik Indonesia. Pada satu sisi, berbagai partai politik memperjuangkan idealisme dan sikap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Akan tetapi, sebaliknya, pemerintah menampilkan wajah yang anti-kritik dan cenderung percaya diri, kalau tidak ingin dikatakan otoriter dalam mempertahankan kebijakan-kebijakannya.

Ambiguitas ini sangat jelas terlihat dalam kasus bail out Bank Century. DPR yang membentuk panitia khusus untuk mengkaji permasalahan ini telah mengambil sikap. Melalui sidang paripurna, diputuskan bahwa kebijakan itu bermasalah dan menyangkakan Sri Mulyani dan Boediono sebagai sosok-sosok yang harus bertangung jawab. Sebaliknya, SBY memandang bahwa kebijakan yang dikeluarkan itu tepat, dan secara tidak langsung melindungi kedua anak buahnya tersebut.

Ketika tampaknya para elit politik dari kalangan  legislatif dan eksekutif begitu menikmati konflik politik tersebut, masyarakat awam mulai bertanya-tanya kapan pusaran ini akan berakhir. Energi yang seharusnya mereka gunakan untuk keperluan-keperluan yang produktif, kini terkuras habis untuk  mengonsumsi berbagai permasalah politik yang semakin hari semakin mengurita tanpa jalan keluar yang jelas.

Eksploitasi Berita

Tidak dapat dipungkiri, media massa, baik cetak maupun elektronik mempunyai andil yang cukup besar dalam menguras energi potensial kaum awam. Berbagai berita yang disajikan tidak hanya menyajikan produk-produk jurnalistik yang informatif, tetapi juga unsur-unsur ekonomis yang justru lebih dominan. Tuduhan ini terbukti benar ketika menyaksikan acara siaran langsung sidang Pansus Century yang ditayangkan berjam-jam dari pagi. Hebatnya, siaran langsung itu mendapatkan rating tertinggi, mengalahkan sinetron-sinetron unggulan .

Kehebohan pemberitaan isu-isu politik yang hangat tidak berhenti dari pengeksplotasian berita-berita tersebut. Berbagai stasiun televisi juga merancang berbagai acara talk show dan debat politik sesama anggota dewan, yang terkadang terkesan provokatif daripada informatif. Acara-acara semacam ini menjadi komoditas sampingan yang penting untuk menyokong isu utama pemberitaan yang sedang hangat dibicarakan. Ironisnya, acara tersebut cenderung menjadi debat kusir yang sekedar menghibur, daripada membahas esensi dari permasalahan yang ada.

Masyarakat sendiri berada dalam sebuah pilihan yang homogen. Pada satu sisi, media massa terus memberitakan perkembangan isu-isu politik tersebut. Pada sisi lain, tidak tersedianya bacaan dan tontonan alternatif yang memberitakan hal-hal di luar itu. Media massa berdalih, isu ini penting untuk diberitakan kepada masyarakat, dan, yang jarang diungkapkan, berita-berita tersebut bernilai ekonomis tinggi.

Politiktainment

Dengan eksploitasi media massa tersebut, para politisi yang duduk di parlemen pun harus berbenah. Lakon yang mereka perankan bukan saja di panggung politik, tetapi juga panggung hiburan. Hal penting yang harus dibenahi adalah penampilan. Tidak sedikit para politisi yang mengaku secara terbuka mengubah penampilan fisik karena mereka sadar dipantau terus-menerus oleh masyarakat melaui siaran langsung berbagai stasiun televise tersebut. Hal yang paling terlihat jelas adalah perubahan busana yang dikenakan. Bila biasanya mereka hanya menggunakan kemeja tangan pendek , kini mereka tampil dengan baju-baju Batik mahal dan setelah jas mewah. Bahkan, yang mengejutkan, mereka menggunakan kosmetik untuk membuat wajah mereka menarik di televisi.

Unsur politiktainment lain yang menonjol adalah berkaitan dengan peran yang mereka lakoni. Seperti layaknya sinetron, pada dasarnya, para politisi ini memainkan dua peran utama, yaitu sebagai tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tentunya, salah satu politisi yang gandrung akan acting politik ini adalah Ruhut “Poltak” Sitompul. Mungkin karena pengalamannya sebagai pemain sinetron, politisi partai pemerintah ini sangat dominan memainkan lakonnya sebagai tokoh antagonis. Bahkan, ia mencitrakan dirinya sebagai ‘trouble maker’ yang memperkeruh suasana sidang. Tampaknya selama Pansus Century bekerja, ia telah memainkan perannnya dengan baik.

Tanpa disadari, eksploitasi media massa telah mengubah pencitraan para politis dari sosok-sosok konvensional yang tak memperhatikan penampilan fisik menjadi pribadi-pribadi metroseksual yang cenderung modis. Dengan begitu, tak lagi dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang jernih dan cemerlang, tetapi yang lebih penting panggung-panggung yang memberikan kesempatan mereka tampil dan dikenal masyarakat.