Ini Batik, Mana Batikmu ?

Seni Batik secara resmi diakui dunia internasional, melalui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), sebagai bagian dari warisan dunia tak benda. Keputusan ini  merupakan formulasi dari hasil sidang UNESCO di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab yang telah dipublikasikan secara global  melalui siaran pers di portal UNESCO tertanggal 30 September 2009.

Dengan kata lain, hak cipta Batik kini secara mutlak telah dimiliki oleh Indonesia dan  otomatis mengakhiri klaim produk budaya ini yang dilakukan oleh negara tetangga. Untuk merayakan “kemenangan” itu, pada Jumat (2/10), di banyak tempat Batik seketika  menjadi seragam resmi setiap manusia Indonesia.

Upaya Pelestarian

Seorang kenalan berkomentar dalam situs jejaring sosial,” Aneh ya rekan-rekan saya ini. Giliran disuruh mengganti kaos oblong dengan kemeja susahnya minta ampun, tetapi pagi  ini mereka tanpa perintah dengan kompak mengenakan pakaian serba Batik”. Media massa wadah untuk mengampanyekan “kemenangan” ini. Berbagai surat kabar terbitan Sabtu (3/10) membuat liputan dan menampilkan gambar yang mengekspresikan antusiasme  setiap orang untuk mengenakan Batik. Tayangan-tayangan di televisi pada hari yang sama pun menyajikan acara-acara bernuansa Batik. Apakah “kemenangan” ini perlu dirayakan? Ataukah ada tugas besar yang menanti setelah Seni Batik dikukuhkan sebagai warisan budaya dunia?

Secara sederhana, perayaan ini merupakan bentuk dukungan masyarakat terhadap pengakuan dunia internasional terhadap Seni Batik sebagai warisan budaya dunia tak benda milik Indonesia. Dukungan ini penting untuk menyosialisasikan Batik ke lingkup masyarakat pemilik kesenian itu sendiri. Langkah penyosialisasian ini sebenarnya telah dirintis oleh para pejabat pemerintahan yang memerintahkan setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk mengenakan busana Batik setiap Jumat. Momentum pengakuan UNESCO atas Seni Batik yang direspon masyarakat luas dengan pengenaan busana Batik menjadi langkah berikutnya yang bukan saja bertujuan untuk memperkenalkan Batik semata sebagai produ budaya nasional, tetapi juga mengajak masyarakat secara rutin mengenakan busana Batik.

Namun demikian, kedua langkah tersebut belum cukup memadai terutama bila direlasikan dengan predikat Seni Batik sebagai warisan budaya dunia tak benda. Perlu dirumuskan langkah lebih lanjut dan media untuk mengimplementasikan langkah itu, dalam rangka melestarikan Seni Batik di Indonesia.  Langkah ini sangat penting, seperti yang telah diperingatkan Arif Havas Oegroseno, konsekuensi pendaftaran sebuah kesenian adalah habisnya masa berlaku hak cipta, 50 tahun setelah penciptanya meninggal. Setelah itu pihak manapun kembali dapat memperebutkan klaim kepemilikan  produk budaya itu.

Berbagai upaya yang mengarah pada pelestarian Seni Batik  sebenarnya telah dirintis.  Prioritas jangka pendek adalah melestarikan  keterampilan membatik di berbagai daerah produsen Batik. Untuk itu diperlukan wadah untuk menampung hasil karya para pembatik tersebut.  pasar Batik, seperti yang terdapat di Imogiri menjadi solusi kongkrit untuk mencapai tujuan itu. Selain itu, prioritas jangka panjang berfokus pada pengenalan Seni Batik pada generasi muda, terutama anak-anak sekolah. Usaha dari Pemerintah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah patut dicontoh. Pemda daerah itu telah mengintegrasikan Seni Batik ke dalam kurikulum pendidikan, baik sebagai muatan lokal maupun kegiatan ekstrakulikuler di jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Potensi Pergeseran Budaya

Di balik pengenaan busana Batik secara masif  pada Jumat (2/10), ada sebuah fakta yang tidak mengenakkan, bahwa sebagian besar orang ternyata mengenakan pakaian bermotif Batik bukan Batik tradisional yang diakui UNESCO. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan akan Seni Batik yang menyebabkan banyak pihak melakukan kesalahan yang terkesan sepele itu. Padahal, kenyataan ini berpotensi membahayakan misi pelestarian Seni Batik di Indonesia.

Kesan untuk mengeser Seni Batik sebagai  budaya adiluhung ke ranah budaya populer sejak lama telah dibaca oleh Iwan Tirta, perancang sekaligus seniman Batik. Sejak awal, ia tidak mengklasifikasikan Batik printing dan cap yang justru populer di masyarakat, tetapi hanya memasukkan Batik tulis sebagai satu-satunya Seni Batik. Pendapat Iwan Tirta inilah yang sesungguhya sejalan dengan pengakuan dunia internasional yang mengenai Batik Indonesia yang syarat teknik, simbol, dan budaya yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sejak lahir hingga meninggal. Penggunaan malam atau campuran sarang lebah, lemak hewan, dan getah tanaman merupakan sisi keunikan Batik yang membuatnya dinobatkan menjadi salah satu warisan budaya dunia tak benda.

Munculnya kain bercorak Batik, pada sisi lain, menjadi penanda pergeseran  budaya itu, juga sinyal bahaya dalam misi pelestarian Batik di Indonesia. Secara nyata, ancaman itu dapat kita lihat ketika membandingkan harga Batik tulis dan Batik cap atau printing. Di daerah Karangtengah, misalnya, harga Batik tulis berada dikisaran Rp 250.000, sedangkan Batik cap hanya Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Lebih dari itu, meluasnya pemasaran Batik printing seolah menjadi bom waktu yang siap meledak, menghancurkan produk Batik tulis. Bayangkan saja, selain berharga murah, Batik printing bukan saja diproduksi para pengusaha lokal, tetapi juga didatangkan dari berbagai negara asing, seperti RRC.

Selain itu, usaha untuk mengeser Seni Batik dari lingkup budaya adiluhung ke ranah budaya populer juga berpotensi melesapkan sejarah panjang Kain Batik di Nusantara. Seperti dikatakan Guru Besar Arkeologi UGM, Timbul Haryono, teknik pengolahan kain yang hampir sama dengan Batik sudah ditemukan sejak pengaruh Hindu masuk ke Nusantara pada abad ke-IV Masehi. Kain Batik sendiri semakin populer sejak masa Kerajaan Majapahit dan penyebaran Islam di Nusantara. Bahkan, Kain Batik kemudian menjadi pakaian ekslusif keluarga Kerajaan Mataram Islam. Baru pada akhir abad ke-XVIII dan awal ke-XIX Kain Batik mulai  dikenakan rakyat pada umumnya sampai sekarang.

Sebagai produk budaya adiluhung, keindahan Batik tidak saja terlihat dari guratan canting dan  malam sebagai pewarna yang membentuk motif kain, tetapi yang lebih penting adalah makna di balik corak batik itu yang merekam filosofi, realitas sosial, dan artefak budaya  yang mewakili zaman ketika Kain Batik diproduksi. Bahkan, jika dilihat perspektif diakronik, Batik merupakam media yang merekam  silang budaya berbagai  peradaban. Itulah sebabnya, sampai sekarang, akulturasi dari pengaruh Hindu-Budha, Islam, dan bahkan Eropa masih dapat dilihat dalam desain Kain Batik.

Oleh sebab itu, menjadi tanggung jawab  bersama untuk menjaga dan melestarikan setiap jenis warisan budaya nenek moyang. Jangan sampai pengalaman buruk seputar pengklaiman budaya Nusantara oleh negara-negara tetangga kembali berulang, terutama  akibat ketidakpedulian para ahli warisnya.

Jadikan tonggak pengakuan dunia internasional atas Seni Batik sebagai isyarat untuk terus melestarikan setiap kultur bangsa, bukan euforia “ kemenangan”semata yang membuai dan membuat kita lupa akan pentingnya pelestarian budaya bangsa.