Film Indonesia, Kuantitas Versus Kualitas

Dunia film layar lebar sedang bergairah. Sejak film Ada Apa Dengan Cinta (2002) booming di berbagai bisokop tanah air, produksi film layar lebar semakin meningkat dari tahun ke tahunnya. Peningkatan produksi film ini tentu saja berjalan seiring meningkatnya respon masyarakat akan film layar lebar. Tentu kita masih ingat kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta. Penontonnya bukan saja datang kalangan masyarakat biasa, namun presiden, tokoh agama, pemimpin parpol artis, sampai ibu-ibu pengajian tersedot akan pesona film yang diadaptasi dari novel laris dengan judul yang sama. Lebih dari itu, kini film layar lebar menjadi sebuah komoditi utama, di samping sinteron. Hal yang perlu dipermasalahkan sekarang adalah mengapa film layar lebar dapat bangkit begitu cepat dan apakah peningkatan kuantitas produksi film yang dibarengi oleh peningkatan animo penonton sudah sebanding dengan kualitas produksi film itu sendiri ?
Kebangkitan Instan
Munculnya stasiun-stasiun televisi swasta di akhir tahun 80-an, sedikit banyak memengaruhi dunia film layar lebar di Indoenesia. Ketika TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi nasional yang menjangkau hampir seluruh nusantara, sesungguhnya terjadi pula pembatasan tontonan. Seperti yang kita ketahui TVRI merupakan corong utama pemerintah untuk menunjukkan keberhasilan-keberhasilan pembangunannya melalui siaran-siaran beritanya. Pendeknya, TVRI kurang dapat memberikan hiburan kepada masyarakat. Dominasi TVRI mulai meredup ketika televisi swasta pertama di Indoenesia, RCTI lahir. Walaupun pada mulanya merupakan televisi berlangganan, namun setahun kemudian RCTI tampil sebagai stasiun televisi yang dapat ditangkap oleh siapa saja. Kala itu, konten acara RCTI bukan saja berisi berita, tetapi juga hiburan-hiburan lokal dan juga asing. Setelah RCTI, kemudian muncul lagi beberapa stasiun televisi baru. Adapun acara yang paling populer ditonton oleh masyarakat adalah sinetron semacam soap opera di dunia barat dan Amaerika Utara, atau telenovela di Amerika Tengah dan Selatan.
Fungsi media televisi sebagai sarana hiburan rakyat yang murah tampaknya berjalan sangat mulus. Namun keadaan ini mulai berubah sejak krisis monenter yang mulai menimpa Indonesia pada tahun 1997. Gejolak perekonomian ternyata juga berpengaruh terhadap selera tontonan masyarakat. Masyarkat yang agak bosan, walaupun tidak semuanya, dengan sinetron karena menampilkan kehidupan orang-orang kelas atas dengan kehidupannya yang glamor dan terkadang dengan alur yang tidak realitstis . Masyarakat membutuhkan tontonan jenis baru yang lebih segar dan menghibur, dan dapat mengalihkan sejenak persoalan-perosalan hidup mereka, namun masih tetap terjangkau. Ketika acara-acara diberbagai stasiun televisi swasta mulai dirasakan menjemukan, beberapa rumah produksi, yang semula kurang dikenal namanya, berspekulasi untuk menghidupkan kembali film layar lebar. Setelah resesi ekonomi agak mereda, saat itulah momen terbaik untuk meghidupkan kembali dunia film layar lebar. Dan ternyata prediksi itu tepat. Film layar lebar ,setidaknya, menawarkan kelebihan yang tidak dimiliki oleh acara-acara televisi lainnya. Untuk menonton sebuah film di bioskop seseorang memang harus mengeluarkan sejumlah biaya tertentu, namun harga yang dibayarkan relative terjangkau, belum lagi program-program menarik yang ditawarkan, seperti nonton hemat (nomat), namun yang terpenting fasilitas yang disedikan, seperti sound system yang bagus, gambar yang tajam, hingga suasana yang nyaman menjadi nilai tambah dan juga kebanggan bagi orang yang menontonnya. Dari segi isi, film layar lebar juga berhasil menjadi tontonan yang segar dan lebih manusiawi. Dari segi penokohan, film layar lebar banyak mengorbitkan nama-nama baru sehingga penonton tidak bosan. Di samping itu jalan ceritanya pun lebih masuk akal dan tidak mengada-ada seperti kebanyakan sinetron di layar televisi. Jadi tidak heran sejak tahun 2002 produksi film layar lebar mulai meningkat dari tahun ke tahunnya. Bahkan, sekarang, setiap minggu selalu saja muncul judul-judul baru film Indonesia. Artinya, kedudukan film layar lebar telah sejajar dengan Sinteron yang secara ekonomis merupakan lahan potensial bagi setiap rumah produksi.
Kuantitas vs Kualitas
Sebagai industri, film layar lebar memang telah dapat dijadikan komoditi utama sebuah rumah produksi. Artinya, peningkatan produksi sebanding dengan jumlah penonton yang menyaksikannya. Namun, pada sisi lain, sebenarnya film layar lebar di Indonesia berjalan di tempat. Pasalnya sejak kemunculan film pribumi pertama kali pada tahun 1926, kualitas film Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Secara teknis, film Indonesia masih sangat jauh dari standar film yang baik. Dari segi penokohan, masih sangat sedikit artis yang dapat menjiwai perannya dengan baik. Kebanyakan dari mereka dapat terjun ke dunia film karena penampilan fisik belaka. Di samping itu, dari segi pencahayaan, ,editing, pencahayaan, dan sound pun belum dapat dikatakan baik. Cerita yang ditawarkan pun terkesan monoton. Artinya, kebayakan film hampir selalu berakhir dengan kebahagiaan, yang terkadang agak dipaksakan dan tidak masuk akal, serta dibuat-buat. Sangat jarang film dapat mengalir, seperti realitas sosial sebenarnya,berakhir dengan kesedihan, dan sebagainya. Kekurangan film Indonesia yang paling fatal sebenarnya bukan terletak pada segi teknis belaka, tetetapi dari segi tujuan film itu sendiri. Film Indonesia sampai dengan detik ini hanya berfungsi sebagai media hiburan belaka. Tidak heran,

Leave a comment