Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi salah satu faktor pemicu lahirnya gerakan reformasi 1998. Lebih dari satu dasawarsa berbagai usaha untuk mengobati ‘penyakit’ ini, namun sampai sekarang belum didapatkan obat yan mujarab. Bila dahulu kroni Orde Baru yang dijadikan objek penderita, kini pemain-pemain baru yang berelasi dengan kekuasaan mencoba mencari peruntungan. Telah banyak yang ditangkap, namun tidak sedikit yang menikmati hasilnya.
Kasus yang menghebohkan belakangan ini adalah terungkapnya praktik makelar kasus yang melibatkan berbagai institusi penting, yang sejak dahulu memang telah dikenal masyarakat sebagai ‘lahan basah’. Ironisnya, kasus ini tidak dapat diendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kinerjanya dari waktu ke waktu semakin menurun akibat berbagai polemik yang terjadi di dalam organisasi itu. Kalau tidak ada barisan sakit hati, yang diwakili mantan Kabareskim Polri, yang juga mempopulerkan istilah ‘Cicak versus Buaya, Komjen Susno Duaji, hampir dipastikan korupsi sistematis ini tidak akan pernah terungkap.
Lahan (Pajak yang) Basah
Dalam ingatan kolektif masyarakat, pajak tidak hanya diartikan sebagai iuran wajib yang harus dibayarkan setiap warga negara, tetapi juga ‘lahan basah’ tempat para pegawai pajak meraup keuntungan. Dalam praktiknya, para pegawai pajak ini seringkali dikesankan mendapatkan penghasilan dari gaji resmi yang dibayarkan setiap bulan saja. Akan tetapi penghasilan-penghasilan sampingan bernilai besar yang berasal dari korupsi pajak.Tidak heran bila kantor-kantor pajak menjadi ruang-ruang strategis yang banyak diincar banyak pihak.
Seturut peribahasa “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, banyak orang yang rela menempuh jalan belakang untuk memasuki kantor tersebut. Caranya menyetorkan sejumlah uang pada oknum-oknum tertentu yang berelasi dengan petinggi Direktorat Pajak. Praktik itu jamak dilakukan walaupun tak kasat mata, ketika penerimaan mahasiswa baru di sekolah kedinasan yang menyuplai mayoritas pegawai pajak di seluruh Indonesia.
Ada sebuah doktrin terselubung yang dikembangkan dan membuat praktik KKN menjadi hal yang biasa dalam kantor pajak. Para pegawai kantor pajak pasti akan menolak bila praktik ini digulirkan secara sistematis. Mereka pasti akan berdalih apabila hal tersebut merupakan tindakan segelintir oknum-oknum pegawai pajak. Alasan yang klasik yang bertolak belakang dengan realitas yang ada. Ironis memang.
Kultur Kepolisian
Dalam institusi kepolisian yang mempunyai sistem komando yang ketat, praktik KKN pun sangat potensial terjadi. Namun penelusuran praktik semacam ini sulit dilakukan. Sejak Polisi berdiri mandiri di luar Tentara Nasional Indonesia (TNI), praktik ini kemungkinan lebih kerap terjadi. Inisiatornya tentu bukan kopral-kopral polisi, tetapi perwira tinggi yang tamak akan kekayaan material.
Sulitnya mengungkapkan praktik KKN di dalam tubuh kepolisian setidaknya dapat dilihat sampai sekarang. Cukup jarang, bahkan seingat saya tidak pernah terjadi, terungkap kasus korupsi di dalam Kepolisian Indonesia. Baru setelah perwira tingginya mengungkapkan adanya praktik KKN, terungkaplah skandal yang melibatkan lagi-lagi oknum kepolisian berelasi dengan pegawai pajak yang mengelapkan pajak puluhan milyar rupiah.
Korupsi Sistematis
Praktik korupsi di Indonesia telah menapaki fase barunya yang lebih kompleks. KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi yang dipuji banyak pihak selama ini ternyata tak mampu mengungkapkan kasus ini. Pasalnya, praktik korupsi sistematis ini tidak hanya melibatkan dua atau tiga pihak saja, tetapi juga berbagai pihak yang terlibat jaringan yang terkoordinasi dengan baik.
Solusi yang dapat ditempuh untuk membongkar kasus-kasus korupsi sistemik semacam ini adalah menjerat seluruh pelaku yang terlibat. Tentunya implementasinya tak semudah wacana yang didengungkan. Jangan sampai pelaku-pelaku kelas teri saja yang tertangkap, sementara pelaku kelas kakap yang memiliki kekuasaan dan kekayaan bebas melenggang dan bersembunyi di negeri seberang. Setelah pegawai pajak, pihak kepolisian, pengusaha , dan pengacara siapa lagi yang akan terlibat dalam korupsi sistematis ini ?