Korupsi Sistematis

Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi salah satu faktor pemicu lahirnya gerakan reformasi 1998. Lebih dari satu dasawarsa berbagai usaha untuk mengobati ‘penyakit’ ini, namun sampai sekarang belum didapatkan obat yan mujarab. Bila dahulu kroni Orde Baru yang dijadikan objek penderita, kini pemain-pemain baru yang berelasi dengan kekuasaan mencoba mencari peruntungan. Telah banyak yang ditangkap, namun tidak sedikit yang menikmati hasilnya.

Kasus yang menghebohkan belakangan ini adalah terungkapnya praktik makelar kasus yang melibatkan berbagai institusi penting, yang sejak dahulu memang telah dikenal masyarakat sebagai ‘lahan basah’. Ironisnya, kasus ini tidak dapat diendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kinerjanya dari waktu ke waktu semakin menurun akibat berbagai polemik yang terjadi di dalam organisasi itu. Kalau tidak ada barisan sakit hati, yang diwakili mantan Kabareskim Polri, yang juga mempopulerkan istilah ‘Cicak versus Buaya, Komjen Susno Duaji, hampir dipastikan korupsi sistematis ini tidak akan pernah terungkap.

Lahan (Pajak yang) Basah

Dalam ingatan kolektif masyarakat, pajak tidak hanya diartikan sebagai iuran wajib yang harus dibayarkan setiap warga negara, tetapi juga ‘lahan basah’ tempat para pegawai pajak meraup keuntungan.  Dalam praktiknya, para pegawai pajak ini seringkali dikesankan mendapatkan penghasilan dari gaji resmi yang dibayarkan setiap bulan saja. Akan tetapi penghasilan-penghasilan sampingan bernilai besar yang berasal dari korupsi pajak.Tidak heran bila kantor-kantor pajak menjadi ruang-ruang strategis yang banyak diincar banyak pihak.

Seturut peribahasa “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, banyak orang yang rela menempuh jalan belakang untuk memasuki kantor tersebut. Caranya menyetorkan sejumlah uang pada oknum-oknum tertentu yang berelasi dengan petinggi Direktorat Pajak. Praktik itu jamak dilakukan walaupun tak kasat mata, ketika penerimaan mahasiswa baru di sekolah kedinasan yang menyuplai mayoritas pegawai pajak di seluruh Indonesia.

Ada sebuah doktrin terselubung yang dikembangkan dan membuat praktik KKN menjadi hal yang  biasa dalam kantor pajak. Para pegawai kantor pajak pasti akan menolak bila praktik ini digulirkan secara sistematis. Mereka pasti akan berdalih apabila hal tersebut merupakan tindakan segelintir oknum-oknum pegawai pajak. Alasan yang klasik yang bertolak belakang dengan realitas yang ada. Ironis memang.

Kultur Kepolisian

Dalam institusi kepolisian yang mempunyai sistem komando yang ketat, praktik KKN pun sangat potensial terjadi. Namun penelusuran praktik semacam ini sulit dilakukan. Sejak Polisi berdiri mandiri di luar Tentara Nasional Indonesia (TNI), praktik ini kemungkinan lebih kerap terjadi.  Inisiatornya tentu bukan kopral-kopral polisi, tetapi perwira tinggi yang tamak akan kekayaan material.

Sulitnya mengungkapkan praktik KKN di dalam tubuh kepolisian setidaknya dapat dilihat sampai sekarang. Cukup jarang, bahkan seingat saya tidak pernah terjadi, terungkap kasus korupsi di dalam Kepolisian Indonesia. Baru setelah perwira tingginya mengungkapkan adanya praktik KKN, terungkaplah skandal yang melibatkan lagi-lagi oknum kepolisian berelasi dengan pegawai pajak yang mengelapkan pajak puluhan milyar rupiah.

Korupsi Sistematis

Praktik korupsi di Indonesia telah menapaki fase barunya yang lebih kompleks. KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi yang dipuji banyak pihak selama ini ternyata tak mampu mengungkapkan kasus ini. Pasalnya, praktik korupsi sistematis ini tidak hanya melibatkan dua atau tiga pihak saja, tetapi juga berbagai pihak yang terlibat jaringan yang terkoordinasi dengan baik.

Solusi yang dapat ditempuh untuk membongkar kasus-kasus korupsi sistemik semacam ini adalah menjerat seluruh pelaku yang terlibat. Tentunya implementasinya tak semudah wacana yang didengungkan. Jangan sampai pelaku-pelaku kelas teri saja yang tertangkap, sementara pelaku kelas kakap yang memiliki kekuasaan dan kekayaan bebas melenggang dan bersembunyi di negeri seberang. Setelah pegawai pajak, pihak kepolisian,  pengusaha , dan pengacara siapa lagi yang akan terlibat dalam korupsi sistematis ini ? 

Pesta Batak dan Panggung Kesuksesan Kaum Perantau Batak di Jakarta

Teriknya matahari seolah membakar bumi Jakarta siang itu. Semilir angin yang bertiup tak tentu waktu bukannya memupus kegerahaan barang sebentar, malah menerbangkan butiran-butiran pasir yang memerihkan mata para pejalan kaki. Beruntung hari ini adalah akhir pekan. Jadi tak banyak orang yang lalu-lalang di pinggir jalan besar itu. Sejurus kemudian dari kejauhan terlihat sebuah Metromini melaju dengan kencangnya. Tiba-tiba kendaraan bobrok berwarna oranye ini berhenti persis di sisi jalan besar yang berpasir itu. Dari dalam bus itu lamat-lamat keluar sepasang suami-istri berpakaian resmi.

Sang pria yang tampak telah berumur mengenakan setelah jas lengkap dan sepatu kulit yang disemir hingga mengkilat. Dari kantung kemejanya, ia mengeluarkan selampai untuk mengusap peluh yang membajiri seluruh wajahnya. Setelah itu, ia mengeluarkan sisir kecil dari kantung belakang celananya untuk menata rambut klimisnya yang sedikit berantakan. Sementara sang istri, mengenakan kebaya dan sarung yang tampak serasi dengan sepatu berhak tinggi yang dikenakannya. Wajah perempuan berusia 50-an tahun itu tampak menor dengan lipstik merah delima yang sangat tebal. Sementara rambutnya disasak tinggi dan ditempeli sanggul berhiaskan konde emas imitasi di bagian belakangnya. Tampak pula kilauan giwang dan cincin yang menempel pada bagian telinga dan jari-jarinya yang gemuk.

Tak jauh dari pinggir jalan nan berpasir itu, tampak sebuah gedung pertemuan bercat putih berasitektur moderen. Bangunan itu tampak megah lagi kokoh dengan tiang-tiang raksasa yang mengelilinginya. Di halamannya tampak hamparan mobil ―dari merek Jepang hingga Eropa―terparkir rapi. Juga terdapat papan ucapan selamat berbahagia yang diatur sedemikian rupa dari perusahaan-perusahaan ternama dari dalam dan luar negeri. Tampak dari kejauhan kerumunan orang telah berada di halaman gedung pertemuan itu. Ada yang baru turun dari mobil, menunggu kenalan atau kerabatnya yang belum datang, atau bersiap masuk ke gedung pertemuan itu.

Langkah pasangan suami-istri itu tampaknya mengarah ke kerumunan orang itu. Seperti pasangan selebriti kondang, suami-istri itu berjalan seirama sambil sesekali melempar senyum entah kepada siapa. Setelah melewati berbagai papan ucapan selamat yang panjangnya hampir setengah kilometer, akhirnya mereka sampai di pintu depan gedung pertemuan itu. Namun sebelum masuk, mereka harus menunggu giliran yang telah diatur sedemikian rupa oleh si empunya  acara sesuai dengan aturan adat.

Segera setelah mengisi buku tamu, mereka melangkah masuk. Bagian dalam ruangan berbentuk persegi panjang itu terasa sejuk, kontras dengan cuaca Jakarta yang panas menyengat. Puluhan meja makan berbaris rapih di kiri dan kanan. Di tengahnya terdapat karpet merah yang merupakan jalan menuju pelaminan. Suara pembawa acara terdengar nyaring mengiringi para tetamu yang baru datang. Biasanya para tamu yang baru datang terlebih dahulu memberikan selamat kepada kedua mempelai dan keluarganya. Namun ada pula yang langsung mengeluyur ke meja makan yang telah disusun  sesuai hubungan kekerabatan. Semakin dekat dengan tempat pelaminan maka semakin dekat hubungan kekeluargaannya.

Setelah ritual penyambutan tamu selesai, maka akan dilanjutkan ke acara makan siang. Bagian ini akan diawali dengan pembacaan doa, walaupun ada juga tetamu yang tak sabar untuk melahap berbagai hidangan khas Batak yang tersaji di meja makan. Kurang lebih satu jam kemudian acara makan siang pun usai dan dilanjutkan ke bagian pemberian berkat dan nasihat kepada kedua mempelai. Acara ini mengikutsertakan seluruh para tetamu yang hadir baik yang duduk di depan maupun belakang. Pembawa acara mengatur secara pergantian tetamu maju ke pelaminan, mengucapkan sepatah dua patah kata, dan memberikan ulos kepada kedua mempelai.  Begitu seterusnya sampai seluruh tetamu selesai melakukan ritual itu.

Agar tidak monoton―karena bagian ini berdurasi panjang―maka diselingi berbagai acara hiburan. Menyanyi dan menari dengan diiringi para penyayi dan kelompok musik yang fasih memainkan segala musik, terutama Batak merupakan selingan yang paling kerap dialakoni.  Biasanya para tamu dari yang tua sampai yang muda tanpa malu-malu aktif mengikuti berbagai acara hiburan ini. Selain untuk melepas rasa jenuh, mereka juga tergiur oleh uang yang diberikan selama acara-acara hiburan ini dilangsungkan.

Ketika sebuah judul lagu Batak tradisional dimainkan, secara spontan para tetamu maju meninggalkan kursinya menuju sebuah tempat lapang yang telah disediakan. Mereka mulai menari tortor mengikuti irama lagu yang dimainkan. Semakin cepat ritme lagu, maka semakin bersemangat gerakan tubuh  tetamu itu. Pada saat itulah si empunya acara dan keluarganya mulai membagikan uang. Biasanya yang dikeluarkan terlebih dahulu adalah pecahan uang bernominal kecil. Mulai dari seribu, dua ribu, lima ribu, dan sepuluh ribu. Mereka yang terlibat dalam acara ini semakin ramai tatkala pecahan uang dua puluh ribu, lima puluh ribu, dan seratus ribu mulai dibagikan. Para tetamu saling berebut dan dorong-mendorong untuk mendapatkan pecahan uang bernominal besar itu.  Maklum jumlahnya lebih terbatas daripada pecahan uang bernominal kecil.

Begitulah hiruk-pikuk pesta adat Batak yang kerap didatangi orang-orang Batak yang bermukim di Jakarta setiap akhir pekan. Hampir setiap Jumat dan Sabtu acara semacam ini diadakan di berbagai gedung pertemuan yang tersebar di Jakarta.  Tak hanya satu acara, dalam sehari keluarga-keluarga Batak dapat menghadiri beberapa pesta adat sekaligus. Bisa dua,tiga, atau lebhh. Bahkan karena terbatasnya waktu, terkadang mereka menyeleksi acara yang perlu dihadiri. Tentu dengan pertimbangan hubungan kekerabatan dan kedudukan sosial si pengundang.

Tak hanya sekedar menjadi rutinitas mingguan―seperti halnya bergereja― pesta adat Batat telah berkembang menjadi panggung kesuksesan kaum migran Batak di Ibukota. Mereka yang datang akan menampilkan segala hal yang terbaik yang mereka miliki. Mulai dari busana, perhiasan, hingga mobil yang terparkir rapi di luar gedung pertemuan. Semua itu semata-mata untuk menunjukkan kepada sesama manusia Batak perantau ihwal kesuksesan, kekayaan, dan kemakmuran yang telah mereka capai selama di tanah perantauan. Mereka akan saling memuji tentang semua yang sudah diraih. Namun di balik itu secara otomatis sesungguhnya terlihat jelas telah terbentuk strata sosial sesuai dengan pencapaian kaum perantau Batak di Jakarta.

Narasi tentang kisah keberhasilan kaum migran Batak di Ibukota yang tercitrakan dalam pesta-pesta adat Batak merupakan secuplik kisah dari praktik migrasi yang telah dilakoni manusia-manusia Batak sejak akhir abad ke-19. Pada awalnya mereka menghadapi berbagai permasalahan baik dari dalam maupun dari luar. Namun perlahan tapi pasti segala rintangan itu dapat diatasi. Bersama kelompok migran lainnya, mereka mulai menapaki kesuksesan di Ibukota. Sejak saat itu berbondong-bondong kawan sedaerah datang ke Jakarta dengan satu tujuan mencapai kesuksesan yang telah dicapai oleh pedahulu mereka. Banyak yang berhasil, namun tidak sedikit yang gagal dan hanya sekedar bertahan hidup di Ibukota yang konon lebih kejam dari ibu tiri.

 

Sebagian dari Bab Pendahuluan dari buku yang sedang saya tulis, Batak Tembak Langsung ; Lika-Liku Kehidupan  Masyarakat  Batak  di Jakarta.

Menggugat Praktik Penghakiman Massal di Indonesia



Siang hari yang terik di sebuah stasiun. Serangkaian kereta ekonomi baru saja tiba dari Jakarta. Saat kereta itu berhenti, sontak terjadi keriuhan. Gerbong yang tidak terlalu besar itu seperti medan pertempuran antara penumpang yang ingin cepat turun dan ingin cepat naik. Di tengah keriuhan itu, seorang pria muda yang merasa kantong celana belakangnya dirogoh berteriak, “copet…copet”.

Teriakan sang  lelaki muda  menjadi perhatian seluruh orang  yang ada di stasiun penghabisan itu. Tampaknya, setelah sadar dompetnya diambil,  pria muda lalu mengejar seseorang laki-laki kurus berpakaian lusuh. Saat sang korban itu merasa pasrah karena tertinggal jauh oleh sang pencopet yang lari tunggang-langgang, tiba-tiba segerombolan orang dengan spontan dan tanpa aba-aba mencoba mengejar sang pencopet. Laki-laki malang itu berhasil ditangkap. Ia dihadiahi bogem mentah oleh hampir setiap orang yang ada di stasiun itu, walaupun sudah mengembalikan dompet itu kepada empunya.

Kejadian itu, kalau saya tidak salah ingat, terjadi setahun yang lalu sekitar bulan puasa. Sebagai calon penumpang yang sedang menunggu kereta yang terlambat, saya hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala dan sesekali berteriak, “woi ini bulan puasa, tahan nafsu kalian !”. Sayang, teriakan saya tak banyak membantu lelaki pencopet yang babak belur dan bajunya telah menjadi compang-camping itu.

Efek Jera yang Tidak Efektif

Praktik penghakiman masal telah dianggap sebagai hal yang lumrah di negara ini. Ketika seorang pelaku kejahatan tertangkap tangan, hampir pasti massa akan memberikan hukuman, biasanya berupa bogem mentah. Bahkan Ketika harga BBM belum selangit, tidak jarang korban penghakiman massal itu dibakar hidup dan akhirnya meregang nyawa. Seringkali, pihak yang berwajib pun tak berdaya dan terkesan memberikan kesempatan kepada masyarakat sipil untuk menghukum pelaku kejahatan tersebut.

Bagi sebagian masyarakat, penghakiman massal telah menjadi kultur. Praktik main hakim sendiri kerap dilakukan untuk memberikan efek jera pada pelaku dan calon pelaku kejahatan. Akan tetapi, pada kenyataannya, cara ini tidak terlalu efektif. Faktanya Tindak kejahatan, seperti  pencopetan, penjambretan, dan pencurian di ruang publik  dari tahun ke tahun semakin meningkat, bahkan metode yang digunakan pun  semakin canggih.  Mengapa hal ini terjadi?

Pada dasarnya, para pelaku tindak kejahatan di Indonesia memilih dunia hitam karena memang tidak memiliki pilihan pekerjaan yang lain. Berbeda dengan penjahat di negara-negara Eropa dan Amerika , khususnya yang termasuk kelas kakap, yang bermotif melampiaskan kepuasan batin karena menganggap tindak kejahatan yang dilakukannya  adalah seni, di samping pekerjaan. Namun di Indonesia, motif para pelaku kejahatan  adalah untuk memenuhi kepentingan ekonomi, demi  mencari sesuap nasi.

Kesejateraan dan Keadilan

Untuk mengantisipasi masalah ini , pemerintah harus segera  mengambil jalan untuk menekan angka kejahatan yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Jalan yang paling kongkrit adalah merealisasikan berbagai  kebijakan yang bertujuan meningkatkan kesejateraan rakyat. Pembinaan dan pelatihan , pemberian modal usaha, dan penyedian lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang berpendidikan dan berketerampilan  rendah menjadi prioritas. Dengan begitu, niscaya angka kejahatan  akan dapat ditekan karena kelompok masyarakat yang terpinggirkan itu akan memiliki alternatif pekerjaan lain yang lebih layak dibanding terjun ke dunia hitam.

Selain itu, pemerintah harus pula memikirkan bagaimana memupus kultur penghakiman massal di tengah masyarakat. Langkah awal yang dilakukan haruslah tegas karena kultur ini telah mengurat dan mengakar selama bertahun-tahun. Pemberian sangsi hukum bagi para pelaku tindak main hakim sendiri akan memberikan keenganan pada masyarakat untuk melakukan praktik yang telah memakan banyak korban tersebut. Setelah itu baru dipikirkan kebijakan yang bersifat persuasif agar masyarakat sadar bahwa negara ini diatur oleh hukum positif, bukan hukum rimba.

Keluarga, Nepotisme, dan Dunia Politik

Nepotisme dalam konteks apapun adalah dosa besar yang diharamkan semenjak kelahiran bayi reformasi lebih dari satu dasawarsa silam. Akan tetapi jamak terlihat bahwa  praktik nepotisme kembali akrab dan lazim dilakukan  dalam lingkaran kekuasaan negeri ini. Ironisnya, tidak seperti kolusi dan kolusi, praktik nepotisme tidak pernah ditindak secara tegas dan terus tumbuh subur dalam berbagai kehidupan masyarakat.

Tuduhan ini terbukti bukan isapan jempol. Tengok saja struktur kepengurusan partai politik di Indonesia. Beberapa partai politik besar, diakui atau tidak, menampakkan keterkaitan anggota keluarga dalam jabatan-jabatan penting. Memang para anggota keluarga yang terlibat itu tidak sedikit yang menunjukkan kualitas yang mumpuni. Berlatar belakang pendidikan luar negeri namun minim pengalaman politik, para “kader titipan” ini seringkali  melakukan loncatan karier melampaui para kader senior yang telah mengabdi lama kepada partai.

Jalan Panjang Praktik  Nepotisme

Praktik nepotisme telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Istilah nepotisme diambil dari kata latin nepos yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Dalam catatan sejarah, praktik nepotisme tumbuh subur sejak abad pertengahan di kalangan agamawan.  Beberapa uskup dan paus, menunaikan kaul selibat dan tidak mempunyai anak , seringkali menyerahkan jabatan-jabatan tertentu kepada keponakan, cucu, dan kerabatnya. Cara ini ditempuh untuk melegitimasi dinasti kepausan dalam hierarki Gereja Katolik Roma.

Beberapa Paus ternama pernah terlibat dalam praktik nepotisme ini. Dalam  New Catholic Dictionary disebutkan bahwa Paus Kallistus III  mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal  dan bahkan salah satu keponakannya yang bernama Rodrigo berhasil menjadi pimpinan tertinggi umat Katolik yang bernama Paus Alexander VI. Untuk mengantisipasi praktik nepotisme ini, pada 1692, dikeluarkan Romanum cecet pontificem oleh Paus Innosensius XII. Isinya antara lain melarang semua paus untuk mewariskan tanah, kantor, pendapatan kepada sanak keluarga, dengan pengecualian bahwa seorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal (Catholic Encyclopedia).

Selain itu, dalam sejarah Dunia  praktik ini pun lazim dilakukan. Salah satu pemimpin legendaris yang terkenal melakukan praktik ini adalah Napoleon Bonaparte. Ketika ia berhasil menduduki beberapa negara Eropa secara spontan Napoleon menunjuk kerabatnya untuk menjadi pimpinan. Di Belanda, misalnya, Napoleon menunjuk adiknya Louis Napoleon untuk menjadi pemimpin di Belanda. Sementara di Mesir, Napoleon juga menunjuk adiknya Champoleon sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negeri padang pasir tersebut. Champoleon kemudian terkenal karena menemukan berbagai peninggalan masa Mesir Kuno, seperti Piramid.

Di Indonesia, praktik nepotisme juga tumbuh subur dalam lingkaran kekuasaan. Keluarga Cendana, misalnya, menjadi simbol praktik nepotisme masa Orde Baru. Bahkan, beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa, salah satu faktor yang menyebabkan kejatuhan Orde Baru adalah dominasi praktik nepotisme di kalangan keluarga presiden yang menyebabkan berbagai pihak geram dan menyerang balik secara  diam-diam kekuasaan  rezim Orde Baru.

Bentuk lain  praktik nepotisme pada masa Orde Baru adalah pengangkatan perwira-perwira militer dalam berbagai jabatan sipil. Soeharto dikenal sebagai sosok yang gemar menunjuk kolega-kolega militernya dalam berbagai jabatan militer. Dari wakil presiden sampai walikota pada saat itu rata-rata dijabat oleh kalangan militer. Hasilnya, kekuasaan Orde Baru dapat merepresi lawan-lawan politiknya mulai dari tingkat bawah sampai tingkat atas. Tidak heran, stabilitas menjadi cirri pemerintahan Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa.

Mengabdi pada Kekuasaan

Dalam berbagai catatan dapat disimpulkan bahwa praktik nepotisme lazim dilakukan oleh para penguasa untuk melegitimasi dan melestarikan kekuasaannya. Para penguasa lebih percaya pada ikatan keluarga daripada kemampuan seorang politikus karier. Walaupun para kerabat tidak memiliki pengalaman di bidang politik yang cukup, loyalitas menjadi alasan utama penguasa memilih anggota keluarga untuk duduk dalam lingkaran kekuasaan.

Pada sisi lain, anggota keluarga penguasa pun memanfaatkan peluang emas untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis. Mereka lebih memilih jalan pintas untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan daripada berakarier dari bawah, menimba pengalaman, dan mematangkan karakter sampai akhirnya pantas disebut politikus yang berpihak kepada rakyat.

Ya begitulah. Ketika praktik neoptisme lazim dilakukan dapat dipastikan yang diperjuangkan penguasa bukanlah kesejateraan rakyat tetapi kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.

Tragedi Kejahatan Intelektual

Dunia pendidikan sejatinya menghasilkan kaum intelektual yang selalu berkarya dalam misi suci memajukan taraf kehidupan masyarakat dan  bangsa. Namun belakangan ini citra ‘orang sekolahan’ ini  mulai disoroti menyusul banyak ditemukannya praktik kejahatan intelektual. Mulai dari kebocoran soal Ujian Nasional (UN) yang dilakukan calon-calon intelektual sampai kasus plagiarisme yang menimpa guru besar sebuah perguruan tinggi ternama. Bila ragam kejahatan intelktual hampir selalu menempatkan oknum intelektual sebagai subjek, namun dalam beberapa kasus justru kaum inteletual menjadi objek penderita yang ditindas oleh penegak hukum.

Dalam kasus pembriedelan dan pembakaran buku, misalnya, cukup jelas menunjukkan bagaimana kreativitas kaum inteletual dibatasi dan dibungkam. Di Jambi, sebanyak 13 judul buku pelajaran sejarah untuk tingkat SMA dan SMP yang dilarang peredarannya telah disita oleh Kejaksaan Tinggi setempat.  Rencananya 218 eksemplar buku yang diamankan ini akan dibakar dan disaksikan pejabat setempat.  Hal yang ironis dan irasional adalah bagaimana mungkin buku-buku karya kaum intelektual bangsa diperlakukan sama seperti pemusnahan narkoba dan minuman keras ilegal ?

Pembungkaman

Praktik ini mengindikasikan bagaimana negara berusaha memonopoli kebenaran ilmu pengetahuan. Padahal tidak ada ilmu pengetahuan moderen yang objektif. Subjektivitas menjadi hal yang jamak dan berterima selama penulisnya dapat mempertanggungjawabkan validitas karya yang ditulisnya. Polemik dan kontroversi menjadi bagian dari dialog intelektual guna  mencapai objektivitas ilmu pengetauan.

Dalam sejarah Eropa terdapat sebuah fase ketika ilmu pengetahuan Yunani kuno dimonopoli oleh kaum agamawan. Ketika itu khalayak umum tidak diperbolehkan mengakses karya-karya klasik tersebut. Masa ini disebut “The Dark Age”. Praktik seluruh lapisan masyarakat dikendalikan oleh kaum agamawan yang menguasai ilmu pengetahuan. Toh, monopoli itu tidak selamanya dapat dipertahankan karena manusia adalah mahluk pemikir yang selalu bertanya tentang lingkungan sekitarnya. Rangkaian yang tak terjawab itu terakumulasi dan membuncah melahirkan masa pencerahan  yang disebut (Renaissance).

Sejarah, Tafsir Masa Lampau

Dalam relasi antar negara dan ilmu pengetahuan, sejarah menjadi  ilmu pengetahuan yang ‘seksi’ bagi kaum penguasa. Bahkan ada ungkapan, “sejarah selalu ditulis oleh sang pemenang”. Pihak yang kalah tidak akan mendapat ruang yang luas dalam historiografi penguasa, bahkan menjadi kambing hitam yang dinistakan. Oleh karena itu, sejarah merupakan instrumen yang penting untuk melegitimasi kekuasan.

Predikat istimewa itu diperoleh karena sejarah berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain yang memfokuskan kajian pada periode kekinian. Ia  adalah ilmu yang menafsirkan kejadian-kejadian lampau, yang seringkali terhubung dengan kekuasaan. Artinya, sejarah bukan  peristiwa masa lalu itu sendiri. Seorang sejarawan tidak dapat kembali ke masa lampau untuk mengungkap peristiwa yang diamatinya. Untuk menafsirkan masa lalu ia bertumpu pada jejak-jejak peninggalan masa lampau. Tanpa itu, sejarawan adalah ilmuan yang impoten.

Ironisnya, pemahaman ini yang belum diketahui masyarakat dan sengaja tidak disosialisikan oleh negara. Selama ini masyarakat lebih banyak didikte oleh penguasa daripada disediakan ruang dialog untuk mendiskusikan peristiwa-peristiwa masa lampau yang sensitif. Akibatnya, sejarah menjadi doktrin benar dan salah dalam menilai berbagai peristiwa masa lampau. Tidak heran memang. Sejarah bangsa ini hampir selalu indentik dengan pembelokan dan pembungkaman  sejarah demi kepentingan melanggengkan kekuasaan.

Selama kebenaran sejarah diberangus, maka masyarakat tidak akan keluar dari masa “Th Dark Age” yang diciptakan penguasa demi kepentingan politisnya.

Pasar Baru

Sore itu, sinar sang surya telah temaram. Seorang gadis cilik duduk santai di sebuah warung pojok. Sebentar ia meletakkan kardus berisi minuman kemasan, lalu bercakap dengan penjaga warung dan memesan semangkuk mie instan.

“Bagaimana dagangan hari ini? Laku nggak?”, tanya penjaga warung. “Wah sepi, kurang laku hari ini”, balas sang gadis cilik. “Harusnya bersyukur, ada dagangan yang laku dan nggak digaruk!”, tukas penjaga warung. “Memang kenapa sih nggak boleh berjualan di Pasar Baru?, jawab sang gadis cilik. “Memang udah dari sananya”, jawab penjaga warung. Sang gadis mengangguk, tanda puas.

Praktik penggarukan pedagang kaki lima yang mangkal memang telah menjadi rutinitas keseharian. Namun, para pedagang tidak jera untuk berjualan di seputaran Pasar Baru. Bahkan, mereka punya jurus jitu untuk menangkal penggarukan yang dilakukan satpol PP itu. Kemampuan itu mereka dapatkan dari pengalaman bermain ‘kucing-kucingan’ dengan petugas penegak disiplin itu.

Sejak dilakukan pembenahan beberapa tahun baru, memang wajah Pasar Baru mulai berubah. Pusat perniagaan tertua di Jakarta ini tidak saja terlihat lebih teratur dan memberikan kenyamanan dalam berbelanja, tetapi juga ada mengajak bernostalgia ke masa lalu yang dicitrakan melalui gerbang pasar itu yang dibiarkan berdiri tegak. Lepas dari itu, toko-toko yang berjajar di dalam pasar itu tidak banyar berubah, baik bentuk fisik bangunannya yang tua dan pelayanannya yang konvensional.

Mungkin citra Pasar Baru tidak sebenderang masa lalu, tertutup oleh kemegahan berbagai mal yang menjamur di Ibukota. Namun, pada akhir minggu dan libur kawasan ini penuh sesak dijejali para pengunjung yang berbondong-bondong membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari. Harganya yang lebih murah dan nostalgia masa lalu membuat Pasar Baru memiliki pelanggannya tersendiri. Mereka rela berdesak-desakan berpeluh keringat demi mendapatkan barang murah dan menggali kenangan masa lalu.

Pada masa kolonial, Pasar baru merupakan pusat perniagaan elit yang ramai dikunjungi oleh kaum elit Batavia. Tidak heran, letak pasar ini yang strategis berdekatan dengan daerah Rijswijk (Jalan Veteran sekarang) membuat pasar ini ramai dikunjungi oleh orang-orang Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Itulah sebabnya relasi multirasial menjadi barang yang biasa di dalam pasar ini.

Hal unik lainnya yang dapat ditemukan dalam pasar yang dibangun sejak 1820 ini adalah kehadiran pedagang-pedagang India yang berdampingan dengan pedagang Tionghoa dan Pribumi. Biasanya pedagang-pedagang ini memiliki spesialisasi tertentu. Pedagang India lebih banyak bergelut di dunia kain meteran. Sementara pedagang Tionghoa berbasis di bisnis pakaian dan pedagang Pribumi bergelut di bidang alas kaki.

Di tengah serangan toko-toko bermerek yang bertebaran di pusat perbelanjaan moderen, toko-toko tua masih dapat bersaing. Beberapa toko tua yang masih tegak berdiri di antaranya  toko Melati (perabot rumah tangga), toko jam Tjung-tjung, dan Toko kacamata Seis. Selain itu ada pula penjahit jas legendaris, seperti Isadras, Gehimal, dan Hariom. Toko kain tua Bombay dan Lilaram juga masih ramai dikunjungi.

Pasar berlanggam arsitektur Eropa-Tionghoa ini masih kokoh berdiri di tengah semaraknya pasar-pasar moderen yang menjual merek-merek terkenal. Sebelum munculnya berbagai mal di Jakarta, Pasar baru bersama Pasar Pagi, yang kemudian berubah menjadi pusat perbelanjaan Mangga Dua, merupakan tempat perbelanjaan favorit warga Jakarta.

Kini, hanya Pasar Barulah yang dapat bersaing di tengah gelombang modernisme dan menjaga memori historis masyarakat Jakarta.

Media Massa dan Lakon Politik Wakil Rakyat

Gejolak politik dalam negeri yang terjadi dalam kurun waktu enam bulan terakhir semakin mendera kehidupan bangsa ini. Kenyataan ini sungguh mengejutkan mengingat pondasi kekuatan politik pemerintah yang tercipta melalui media pemilu sangat kokoh. Di parlemen partai-partai politik yang berkoalisi dengan pemerintah mendominasi, sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat kepercayaan lebih dari 60 % rakyat Indonesia untuk memimpin negara ini sampai 2014.

Kini, wajah pemerintah SBY menampilkan ambiguitas yang hampir tidak ditemukan dalam sejarah politik Indonesia. Pada satu sisi, berbagai partai politik memperjuangkan idealisme dan sikap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Akan tetapi, sebaliknya, pemerintah menampilkan wajah yang anti-kritik dan cenderung percaya diri, kalau tidak ingin dikatakan otoriter dalam mempertahankan kebijakan-kebijakannya.

Ambiguitas ini sangat jelas terlihat dalam kasus bail out Bank Century. DPR yang membentuk panitia khusus untuk mengkaji permasalahan ini telah mengambil sikap. Melalui sidang paripurna, diputuskan bahwa kebijakan itu bermasalah dan menyangkakan Sri Mulyani dan Boediono sebagai sosok-sosok yang harus bertangung jawab. Sebaliknya, SBY memandang bahwa kebijakan yang dikeluarkan itu tepat, dan secara tidak langsung melindungi kedua anak buahnya tersebut.

Ketika tampaknya para elit politik dari kalangan  legislatif dan eksekutif begitu menikmati konflik politik tersebut, masyarakat awam mulai bertanya-tanya kapan pusaran ini akan berakhir. Energi yang seharusnya mereka gunakan untuk keperluan-keperluan yang produktif, kini terkuras habis untuk  mengonsumsi berbagai permasalah politik yang semakin hari semakin mengurita tanpa jalan keluar yang jelas.

Eksploitasi Berita

Tidak dapat dipungkiri, media massa, baik cetak maupun elektronik mempunyai andil yang cukup besar dalam menguras energi potensial kaum awam. Berbagai berita yang disajikan tidak hanya menyajikan produk-produk jurnalistik yang informatif, tetapi juga unsur-unsur ekonomis yang justru lebih dominan. Tuduhan ini terbukti benar ketika menyaksikan acara siaran langsung sidang Pansus Century yang ditayangkan berjam-jam dari pagi. Hebatnya, siaran langsung itu mendapatkan rating tertinggi, mengalahkan sinetron-sinetron unggulan .

Kehebohan pemberitaan isu-isu politik yang hangat tidak berhenti dari pengeksplotasian berita-berita tersebut. Berbagai stasiun televisi juga merancang berbagai acara talk show dan debat politik sesama anggota dewan, yang terkadang terkesan provokatif daripada informatif. Acara-acara semacam ini menjadi komoditas sampingan yang penting untuk menyokong isu utama pemberitaan yang sedang hangat dibicarakan. Ironisnya, acara tersebut cenderung menjadi debat kusir yang sekedar menghibur, daripada membahas esensi dari permasalahan yang ada.

Masyarakat sendiri berada dalam sebuah pilihan yang homogen. Pada satu sisi, media massa terus memberitakan perkembangan isu-isu politik tersebut. Pada sisi lain, tidak tersedianya bacaan dan tontonan alternatif yang memberitakan hal-hal di luar itu. Media massa berdalih, isu ini penting untuk diberitakan kepada masyarakat, dan, yang jarang diungkapkan, berita-berita tersebut bernilai ekonomis tinggi.

Politiktainment

Dengan eksploitasi media massa tersebut, para politisi yang duduk di parlemen pun harus berbenah. Lakon yang mereka perankan bukan saja di panggung politik, tetapi juga panggung hiburan. Hal penting yang harus dibenahi adalah penampilan. Tidak sedikit para politisi yang mengaku secara terbuka mengubah penampilan fisik karena mereka sadar dipantau terus-menerus oleh masyarakat melaui siaran langsung berbagai stasiun televise tersebut. Hal yang paling terlihat jelas adalah perubahan busana yang dikenakan. Bila biasanya mereka hanya menggunakan kemeja tangan pendek , kini mereka tampil dengan baju-baju Batik mahal dan setelah jas mewah. Bahkan, yang mengejutkan, mereka menggunakan kosmetik untuk membuat wajah mereka menarik di televisi.

Unsur politiktainment lain yang menonjol adalah berkaitan dengan peran yang mereka lakoni. Seperti layaknya sinetron, pada dasarnya, para politisi ini memainkan dua peran utama, yaitu sebagai tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tentunya, salah satu politisi yang gandrung akan acting politik ini adalah Ruhut “Poltak” Sitompul. Mungkin karena pengalamannya sebagai pemain sinetron, politisi partai pemerintah ini sangat dominan memainkan lakonnya sebagai tokoh antagonis. Bahkan, ia mencitrakan dirinya sebagai ‘trouble maker’ yang memperkeruh suasana sidang. Tampaknya selama Pansus Century bekerja, ia telah memainkan perannnya dengan baik.

Tanpa disadari, eksploitasi media massa telah mengubah pencitraan para politis dari sosok-sosok konvensional yang tak memperhatikan penampilan fisik menjadi pribadi-pribadi metroseksual yang cenderung modis. Dengan begitu, tak lagi dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang jernih dan cemerlang, tetapi yang lebih penting panggung-panggung yang memberikan kesempatan mereka tampil dan dikenal masyarakat.

Riwayat Pasar Bogor ; Dari Lahan Sewaan hingga Sentra Perniagaan

Sekilas tidak ada yang istimewa dalam tampilan Pasar Bogor. Bau busuk begitu menyengat manakala memasuki gedung pasar yang kusam, belum lagi sampah-sampah yang berserakan dan mengunduk di hampir di setiap sudut, serta kubangan air  lumpur bagaikan ranjau yang harus dihindari. Suasana hiruk pikuk, mulai dari tawar-menawar harga yang alot antara penjual dan pembeli, seorang ibu yang menjinjing kantung plastik belanjaan sambil membaca catatan belanjanya, sampai bocah kuli panggul yang kepayahan membawa beban belanjaan “Sang majikan”.

Namun, pasar yang terletak di seberang Kebun Raya Bogor ini tidak pernah tidur, selalu ramai pengunjung baik siang maupun malam. Di tengah menjamurnya pasar-pasar tradisional dan serangan pasar-pasar swalayan di Kota Hujan, praktis pasar ini tetap menjadi sentra perekonomian penduduk kota.  Tentu predikat ini dapat bertahan karena Pasar Bogor bukan sekedar pusat perniagaan, tetapi merupakan wadah interaksi masyarakat yang telah menjadi memori sejarah kota ini.

Dalam konteks kekinian, Pasar Bogor bukan satu-satunya sentra perdagangan tradisional yang terletak di Kota Bogor. Namun, bila merujuk pada konteks historis, pasar ini menjadi salah satu pusat konsentrasi masyarakat non-Eropa yang diizinkan beroperasi di kawasan elit Eropa. Sejak awal Buitenzorg memang dirancang sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, dan para pegawai tinggi kolonial. Masyarakat non-Eropa dilarang bermukim di kawasan elit ini. Sesuai dengan masterplan kota, pembangunan struktur dan infrastruktur Buitenzorg, lebih ditujukan untuk kepentingan masyarakat Eropa..

Namun demikian, sebagai pemilik pribadi Villa Buitenzorg, gubernur jenderal melihat banyak lahan kosong di tanah miliknya yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, terbesit gagasan untuk memanfaatkan tanah kosong itu dengan cara menyewakannya. Betul saja, sejak 1752 Kampoeng Bogor, pemukiman pribumi sudah berdiri di Buitenzorg. Supermasi Eropa semakin berkurang ketika Bupati Kampung Baru, Demang Wiranata (1749-1758)  permohonan untuk mendirikan rumah di daerah Sukahati (Empang) yang dikabulkan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel. Sekitar 1770, Bupati Kampung Baru telah tinggal dan bahkan kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke rumah itu.

Melihat bisnis sewa tanahnya laku keras dan mendatangkan pemasukan yang cukup besar, gubernur jenderal pada saat itu, Van der Parra (1761-1775) membuka kesempatan kepada siapa saja yang ingin menyewa tanah miliknya, termasuk untuk urusan ekonomi. Parra kemudian mengabulkan pendirian  sebuah pasar di Buitenzorg. Pasar itu berdekatan dengan Kampung Bogor dan tidak jauh dari Kantor Kabupaten Kampung Baru. Sekitar 1770, pasar itu mulai beroperasi. Pada awalnya, pekan ini hanya dibuka seminggu sekali. Karena semakin ramai, waktu operasi pasar ini pun ditambah menjadi dua kali seminggu, setiap hari Senin dan Jumat. Atas bisnis sewa tanah tersebut, Gubernur Jenderal Van der Parra  sudah meraup keuntungan yang cukup besar. Dalam laporan keuangan 1777, disebutkan pendapatan gubernur jenderal sebesar 14.000 ringgit, sekitar 8.000 ringgit berasal dari sewa tanah Pasar Bogor.

Semakin tingginya aktivitas perekonomian, apalagi rampungnya rel kereta api yang menghubungkan Batavia-Buitenzorg sepanjang 50 km pada 1873 meningkatkan status pasar ini dari pasar lokal menjadi pasar regional.  Sejak saat itu, Pasar Bogor dimasukkannya dalam jalur perdagangan Priangan-Batavia. Waktu operasi pasar pun diubah menjadi setiap setiap hari. Arus perdagangan terutama hasil bumi dari Priangan yang dikirimkan ke Batavia semakin tinggi. Dalam cacatan Gerlings, seperti dikutip Devisari Tunas (2005), pada 1870-1880, sekitar 60 %  barang yang diangkut dari Buitenzorg ke Batavia adalah hasil bumi, seperti kopi, gula, kentang, kacang, beras, tepung, minyak sayur, minyak, dan kina. Sayur-sayuran segar  yang berasal dari perkebunan di Sindanglaya (Puncak) merupakan komoditi terkenal di pasar ini.

Oleh karena pasar ini berdekatan dengan Kampung Bogor, maka spontan pedagang yang singgah pun menyebutnya Pasar Bogor. Bahkan kemudian para pedagang lebih akrab dengan nama Bogor untuk mengacu pada pasar yang terletak di Buitenzorg. Kata Bogor inilah yang kemudian meluas tidak hanya di kalangan pedagang, tetapi juga meluas dalam kehidupan masyarakat umum. Pada akhir masa kolonial, kata Bogor telah akrab di telinga masyarakat kolonial, sebagai nama tidak resmi dari Buitenzorg.

Lebih dari itu, Pasar Bogor kemudian menjadi simbol interaksi antara masyarkat golongan Pribumi, Tionghoa, dan Arab di kawasan eklusif Buitenzorg. Hal itu terjadi sejak meningkatnya volume perdagangan dan jaminan keamanan di pasar ini. Hal ini membuat para pedagang memutuskan untuk tinggal permanen di daerah sekitar Pasar Bogor. Masyarakat Pribumi kemudian tinggal di daerah, Lebak Pasar. Kemudian tumbuh pula  Perkampungan Tionghoa (Handelstraat, Jalan Suryakencana sekarang) dan Perkampungan Arab (daerah Empang) pada akhir abad ke-19. Interaksi yang telah terjalin selama berabad-abad membuat ketiga kelompok masyarakat telah mampu beradaptasi dan menerima keberadaan satu dengan yang lainnya.

Berplesir sambil Belajar, Pengalaman Mengunjungi Museum Etnobotani Indonesia

Sengatan sinar matahari di siang bolong tak mengurangi semangat ratusan anak-anak sekolah dasar untuk berbaris rapi di sepanjang trotorar. Bersama rombongan yang lain, mereka akan mengunjungi Istana Presiden, yang belakangan ini  terbuka untuk umum dalam rangka Istana Bogor Open memeringati hari jadi Kota Bogor ke-527.

Suasana riuh rendah pelajar sekolah dasar rupanya menjalar ke kompleks Pusat Penelitian Biologi Lembanga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( Puslitbang LIPI), tepat di seberang Istana Bogor. Namun suara riang gembira anak-anak SD itu terhenti hanya sampai pelataran parkir gedung yang dikelola oleh Puslitbang LIPI ini. Padahal, tepat di belakang tempat parkir tersebut, ada sebuah objek wisata yang mengugah rasa ingin tahu murid-murid berseragam putih merah itu. Keheningan langsung menyergap manakala kita menyusuri jalan kecil yang menghubungkannya dengan sebuah gedung berlantai lima, tempat  Museum Etnobotani Indonesia (MEI) berada. Pintu museum itu tertutup dan tidak ada seorang petugas pun yang berjaga menjadi jurus ampuh untuk menghalau pengunjung. Suara rintihan kipas angin yang menua dan kesan angker karena kurangnya penerangan  segera menyambut para pengunjung yang masuk ke dalam ruangan utama museum itu.

Sebenarnya untuk mencapai Museum Etnobotani cukup mudah. Letaknya yang strategis, tepat di seberang pintu masuk Istana Bogor yang berdekatan dengan Gereja Zebaoth. Dengan menggunakan angkutan umum dari Terminal Baranang Siang dibutuhkan waktu sekitar lima menit, pun dari Stasiun Bogor hanya butuh tiga menit saja. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli tiket masuk pun tidak mahal, cukup 1000 rupiah.   Pintu masuk museum ini sebenarnya terletak di Jalan Kantor Batu. Akan tetapi, karena pintu gerbangnya ditutup, pengujung harus masuk melalui pintu Puslitbang Biologi LIPI di Jalan Djuanda No.22-24. Itupun harus menyusuri jalan kecil sepanjang 50 meter dari bangunan utama. Dari situ kita akan menemukan sebuah gedung berlantai lima, di mana museum ini terletak  di lantai dasar.

Sebuah pintu besar bercat abu-abu yang mengubungkan dengan ruangan utama segera menyambut para pengunjung. Tidak ada loket di museum itu, yang ada hanyalah sebuah papan bertuliskan Museum Etnobotani Indonesia ,Tema Pemanfaatan Tumbuhan Indonesia dan peraturan-peraturan yang berlaku bagi para pengunjung.  Ruang utama MEI berbentuk labirin dengan luas 1600 meter pesegi, dengan  lima lorong yang masing-masing berisi tiga sampai empat etalase kaca untuk menyimpan benda koleksi.

Teknologi Tradisional Nusantara

Museum ini digagas oleh seorang ilmuan yang juga ketua  Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang LIPI), Prof. Sarwono Prawiroharjo pada 1962. Pada saat itu, Prof Sarwono menyadari pentingnya sebuah wadah untuk menyimpan dan melestarikan teknologi dan ilmu pengetahuan lokal dari seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia. Pada 1973, diadakan sebuah pertemuan di Puslitbang Biologi yang dihadari oleh para ilmuan, yang tidak saja datang dari bidang pertanian, tetapi juga Antropologi, Kemasyarakatan, Biologi, dan Museumologi untuk mematangkan konsep museum tersebut.  Sejak saat itu dimulai usaha untuk mengumpulkan barang-barang yang kelak akan menjadi koleksi museum tersebut.

Istilah etnobotani, pertama kali dipopulerkan oleh Dr.  J.W. Harshberger pada 1595. cabang dari Ilmu Pertanian ini mempelajari tentang tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obat-obatan, pakaian, perkakas, dan  bangunan, serta sesaji dalam upacara adat. Barang-barang yang dipamerkan di museum ini berasal dari penjuru Nusantara. Pada 1982 Museum Etnobotani Indonesia mulai beroperasi bersamaan dengan peresmian bangunan tersebut oleh Prof. B.J. Habibie, bertepatan dengan peringatan 165 tahun berdirinya Kebun Raya Bogor (KRB).

Koleksi yang dipamerkan di MEI adalah barang-barang berbahan dasar tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat, terutama suku-suku bangsa di seluruh Indoensia. Artinya berbagai teknologi tradisional dan kreasi ilmu pengetahuan lokal, seperti bahan pangan, sandang, papan, obat-obatan tradisional, alat rumah tangga, alat transportasi, alat pengolah pertanian, perikanan, alat musik, sarana upacara adat, mainan anak, dan juga kosmetik tradisional yang keseluruhan berbahan dasar tumbuh-tumbuhan dipamerkan di museum itu. Sebelum 2006 ,museum ini sudah memiliki sekitar 2.000 benda yang dipamerkan. Koleksi ini semakin bertambah setelah PT. Eisai, mitra kerja LIPI dari Jepang yang berkonsentrasi pada ekspolarasi tumbuh-tumbuhan di Indonesia, menghibahkan berbagai koleksi baru pada 2006. Sampai sekarang terdapat 5.118 simplisia, 169 koleksi hidup dan 2450 herbarium spesimen yang menjadikannya tempat penyimpanan paling lengkap dan satu-satunya di Indonesia.

Oleh karena berbahan dasar tumbuh-tumbuhan yang mudah membusuk maka koleksi-koleksi yang dipamerkan kemudian diawetkan. Ada dua jenis cara pengawetan yang dilakukan, yaitu pengawetan kering dan pengawetan basah. Pengawetan kering dilakukan hampir untuk semua koleksi, sedangkan pengawetan basah hanya terbatas pada sampel buah-buahan. Selain itu, barang-barang yang dipamerkan pun terbagi atas barang-barang yang dipamerkan secara langsung dan barang-barang yang dipamerkan di etalase kaca. Barang-barang yang berbahan dasar  keras dengan tekstur yang solid dan dapat diraba dengan tangan dipamerkan di bagian depan museum, sedangkan barang-barang langka, bertekstur lembut dan mudah rusak apabila disentuh dipamerkan di etalase kaca yang berjejer di sepanjang  lorong museum. Setiap jenis barang yang dipamerkan diberi nama, kegunaan, dan informasi tentang tumbuhan apa yang menjadi bahan dasar pembuatnya.

Selain itu, hal lain yang menarik dari museum tersebut adalah tata pencahayaan ruangan tersebut.  Para pengunjung pasti akan terheran-heran bercampur takut karena seluruh ruangan museum ini gelap gulita, hanya terdapat beberapa sorot cahaya lampu di lorong-lorong museum yang menerangi koleksi tertentu. Namun demikian, penataan cahaya ini sengaja dilakukan oleh oleh desainer museum tersebut, selain untuk memfokuskan objek koleksi tertentu kepada para pengunjung. Sampai sekarang ada dua koleksi yang selalu menjadi perhatian para pengunjung, yaitu kain kafan suku dayak dan Rafflesia Arnoldi. Koleksi kain kafan yang terbuat dari daun pandan ini sudah sangat langka dan tidak digunakan lagi karena sebagain besar Suku Dayak telah meninggalkan agama tradisionalnya dari beralih ke agama Kristen, sedangkan koleksi Rafflesia Arnoldi sudah tidak dipamerkan lagi karena telah dipindahkan ke Cibinong.

Nasib Museum Etnobotani

Mengeliatnya Industri Pariwisata di Kota Bogor  ternyata tidak berdampak positif terhadap perkembangan pariwisata ilmiah. Kecuali Kebun Raya Bogor, yang lebih banyak digunakan sebagai tempat berkumpul dan piknik keluarga tanpa mengindahkan nilai edukasinya, dapat dikatakan mobil-mobil Jakarta dan warga Bogor sendiri terkesan menafikan keberadaan berbagai museum dan monumen bersejarah di kota ini. Mereka hanya tertarik pada wisata belanja dan makanan karena lebih cepat memberikan kepuasan instan. Begitulah nasib kebudayaan adiluhung yang semakin tergusur oleh produk kebudayaan populer yang menawarkan kenikmatan yang instan.

Pada sisi lain, sebenarnya, keberadaan Museum Etnobotani di Kota Bogor memegang peranan yang cukup penting bagi pelestarian lingkungan, termasuk isu global warming yang melanda planet bumi. Apalagi fungsi dan kedudukan Kota Bogor sejak masa kolonial sampai sekarang sebagai kota pusat penelitian Biologi, Pertanian, dan Peternakan. Meningkatnya suhu udara dan polusi di Kota Bogor, bukan saja menandakan berkurangnya fungsi Kebun Raya Bogor sebagai paru-paru kota, akan tetapi juga penggunaan peralatan-peralatan sehari-hari yang tidak ramah lingkungan, terutama peralatan dari plastik yang sulit dibusukkan

Dengan berkunjung ke MEI, masyarakat akan berpikir untuk menggunakan barang kebutuhan sehari-hari yang ramah lingkungan dan sehat bagi tubuh. Sebagai gantinya, mereka dapat  memanfaat teknologi tradisional yang ada dan masih memungkinkan untuk dipakai yang sebagian besar disimpan di Museum Etnobotani. Pemanfaatan teknologi tradisional, pada sisi lain, juga mengurangi ketergantung pada produk impor dan memberdayakan kembali barang buatan dalam negeri,  yang juga merangsang bangkitnya sektor usaha rumahan, tempat barang-barang itu diproduksi. Dengan demikian, tercapailah tujuan dari MEI, yaitu mendokumentasi pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya tumbuhan serta pengungkapan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi lokal untuk dikembangkan menjadi komoditi nasional dan global.

Museum Etnobotani, sama seperti nasib museum-museum lainnya di Kota Bogor, jauh dari keramaian pengunjung. Dengan jam operasional yang cukup panjang, mulai pukul 08.00-16.00 WIB,  dan kompensasi biaya yang relatif murah, seribu rupiah, seharusnya banyak pengunjung yang datang bukan hanya sekedar berwisata, tetapi juga belajar tentang keanekaragaman budaya Indonesia. Pada kenyataannya, dalam waktu dua bulan belum tentu ada pengunjung individual yang datang, paling-paling hanya pengujung rombongan yang sesekali menyambangi tempat ini. Alhasil, para pegawai museum, yang terdiri atas seorang pimpinan, tiga orang kurator edukasi, dan seorang petugas kebersihan, lebih banyak mengangur dan seringkali meninggalkan pekerjaan mereka, termasuk dalam urusan menyambut tamu yang datang berkunjung.

Pihak pengelola Museum Etnobotani pun harus berbenah, untuk mengemas tempat ini menjadi objek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Berbagai problem klasik, seperti tempatnya yang terpencil, kurangnya publikasi, dan minimnya papan penunjuk arah mengakibatkan sebagian wisatawan dan masyarakat Kota Bogor  tidak mengetahui letak persis museum itu, apalagi barang-barang yang dipamerkannya di dalamnya.  Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata Kota Bogor juga harus turun tangan menganggapi permasalahan serius ini. Jangan hanya memerhatikan pariwisata artifisial yang semakin menyemerawutkan Kota Bogor. Solusi kongkritnya adalah membuat dan menawarkan sebuah program kunjungan yang mencakup berbagai museum dan monumen di Kota Bogor kepada masyarakat luas.

Pemuda, Masa Depan Bangsa ?


Di ruangan yang tak seberapa besar itu, puluhan pemuda duduk rapih. Mereka dengan cermat mendengarkan paparan tokoh-tokoh pergerakan dengan perasaan was-was. Sewaktu-waktu bisa saja rapat itu dibubar paksa oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Namun demikian mereka tetap yakin untuk tetap menyelesaikan rapat itu. Hasil rapat itu yang, entah kenapa, sering disebut Sumpah Pemuda.

Creative Minor

Kedudukan pemuda sebagai generasi penerus bangsa selalu terhormat di panggung sejarah. Kehadiran mereka selalu membawa tendensi-tendensi yang tidak sinkron dengan jiwa zamannya. Pemuda menjadi insan yang kreatif dan gelisah menghadapi masa yang tidak sesuai jati dirinya. Ia menjadi minoritas, tetapi tidak lantas marginal. Sebaliknya, ia menjadi aktor utama yang mampu mengubah roda peradaban.

Lihatlah perjalanan sejarah bangsa ini. Kehadiran pemuda selalu ada dan ikut mewarnai perubahan zaman. Tentu masih kita ingat diskusi Soetomo, seorang murid sekolah dokter Jawa (STOVIA) dan Wahidin Soedirohoesodo, seorang dokter Jawa yang hampir pupus harapannya untuk memajukan pendidikan dan budaya Jawa. Ketika kegelisahan dan asa bertemu maka terbentuknya Boedi Oetomo (BO) yang selalu kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (HKN).

Dua puluh tahun kemudian, ketika Pemerintah Kolonial Belanda membatasi dan mengawasi aktivitas tokoh-tokoh dan partai-partai politik, para pemuda berani mengambil resiko untuk melaksanakan rapat yang ditabukan pada masa itu. Lebih dari itu, mereka mau menanggalkan segala atribut etnisitas demi persatuan bangsa. Dengan iringan biola dan lagu Indonesia Raya karya W.R. Soepratman, mereka berikrar berbahasa, bertanah air, dan berbangsa satu.

Kaum muda lagi-lagi beraksi. Mereka dengan gigih, di bawah pengawasan militer ketat Jepang, mendorong para tokoh-tokoh golongan tua nasional untuk segera memroklamasikan kemerdekaan. Begitu antusiasnya, para pemuda itu sempat menyandera para seniornya untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Betul saja tekanan kaum muda itu menjadi indikator bagi Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini.

Setelah Indonesia merdeka, sikap kaum muda pun tidak luntur. Ketika kejenuhan zaman  sudah memuncak, kaum muda datang untuk mendesak perubahan. Itulah yang terjadi ketika kekacauan telah mencapai titik kulminasi. Kediktatoran Soekarno sudah tidak dapat lagi dimaklumi oleh para pemuda. Sikap Soekarno yang memusuhi KAMI dan menutup Kampus Universitas Indonesia tidak memadamkan asa, tetapi melecutkan semangat pemuda untuk mengulingkan Demokrasi Terpimpinnya Soekarno. Walaupun kekuatan kaum muda ini ditungangi pihak-pihak yang berkepentingan secara politik, namun lagi-lagi pemuda mampu menjadi agen perubahan zaman.

Rezim Orde Baru yang mengedepankan stabititas di segala bidang terbukti tak berdaya melawan kekuatan kaum muda. Saat krisis multidimensioanal mengoyang Orde Baru, pemuda kekuatan yang mampu membuat Soeharto menyerah meletakkan jabatan yang telah diemban selama 32 tahun. Pemuda bersorak, namun terpukul. Pemerintahan reformis yang mereka idam-idamkan sampai sekarang tak kunjung muncul. Justru yang tampil kepermukaan adalah kamuflase dan metamorfosis Orde Baru.

Budak Peradaban

Keikutsertaan pemuda sebagai salah satu agen penting perubahan pada masa-masa krisis yang menandai akhir periode sejarah memang tak dapat dipungkiri. Namun demikian, sampai sejauh mana peran pemuda di zaman normal? Apakah suara lantang kaum muda menjadi sumbang dan sekedar angin lalu. Atau malah kehilangan suara kegelisahan dan  gairah perjuangannya.

Saya cenderung untuk menyetujui alternatif yang terakhir. Dengan kata lain, pemuda tidak lagi menjadi aktor yang memainkan plot-plot sejarah. Pemuda hanya menjadi penonton yang sesekali hanya bersorak ketika para aktor melakukan kesalahan, tanpa memberikan solusi yang adaptif. Mengapa hal itu terjadi?

Seorang penulis berkata, “para pemuda kehilangan musuh bersamanya”. Oleh karena itu, mereka tidak lagi menjadi agen-agen perubahan, tetapi budak-budak yang terjebak pada buaian budaya populer. Mereka bermetamorfosis menjadi manusia-manusia yang patuh pada perintah tuan-tuannya. Kreativitas mereka menjadi tumpul, kegelisahan mereka dilesapkan, dan gairah mereka dibelokkan pada materialisme hampa.

Generasi muda adalah penerus bangsa. Bila kaum mudanya bobrok, pastilah bangsanya korup. Oleh karena itu pemuda harus bersatu memeperjuang kreativitas, kegelisahan, dan gairah dalam sebuah media yang tepat sehingga gagasan-gagasan itu tidak didasarkan pada pemikiran-pemikiran dangkal dan instan, tetapi terencana dan berproses. Dengan begitu, pemuda dapat memainkan peranannya di setiap langkah sejarah bangsa ini dalam rangka menentukan masa depan bangsa ini. Jangan sampai, kekuatan kaum muda hanya dijadikan batu loncatan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.