Sengatan sinar matahari di siang bolong tak mengurangi semangat ratusan anak-anak sekolah dasar untuk berbaris rapi di sepanjang trotorar. Bersama rombongan yang lain, mereka akan mengunjungi Istana Presiden, yang belakangan ini terbuka untuk umum dalam rangka Istana Bogor Open memeringati hari jadi Kota Bogor ke-527.
Suasana riuh rendah pelajar sekolah dasar rupanya menjalar ke kompleks Pusat Penelitian Biologi Lembanga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( Puslitbang LIPI), tepat di seberang Istana Bogor. Namun suara riang gembira anak-anak SD itu terhenti hanya sampai pelataran parkir gedung yang dikelola oleh Puslitbang LIPI ini. Padahal, tepat di belakang tempat parkir tersebut, ada sebuah objek wisata yang mengugah rasa ingin tahu murid-murid berseragam putih merah itu. Keheningan langsung menyergap manakala kita menyusuri jalan kecil yang menghubungkannya dengan sebuah gedung berlantai lima, tempat Museum Etnobotani Indonesia (MEI) berada. Pintu museum itu tertutup dan tidak ada seorang petugas pun yang berjaga menjadi jurus ampuh untuk menghalau pengunjung. Suara rintihan kipas angin yang menua dan kesan angker karena kurangnya penerangan segera menyambut para pengunjung yang masuk ke dalam ruangan utama museum itu.
Sebenarnya untuk mencapai Museum Etnobotani cukup mudah. Letaknya yang strategis, tepat di seberang pintu masuk Istana Bogor yang berdekatan dengan Gereja Zebaoth. Dengan menggunakan angkutan umum dari Terminal Baranang Siang dibutuhkan waktu sekitar lima menit, pun dari Stasiun Bogor hanya butuh tiga menit saja. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli tiket masuk pun tidak mahal, cukup 1000 rupiah. Pintu masuk museum ini sebenarnya terletak di Jalan Kantor Batu. Akan tetapi, karena pintu gerbangnya ditutup, pengujung harus masuk melalui pintu Puslitbang Biologi LIPI di Jalan Djuanda No.22-24. Itupun harus menyusuri jalan kecil sepanjang 50 meter dari bangunan utama. Dari situ kita akan menemukan sebuah gedung berlantai lima, di mana museum ini terletak di lantai dasar.
Sebuah pintu besar bercat abu-abu yang mengubungkan dengan ruangan utama segera menyambut para pengunjung. Tidak ada loket di museum itu, yang ada hanyalah sebuah papan bertuliskan Museum Etnobotani Indonesia ,Tema Pemanfaatan Tumbuhan Indonesia dan peraturan-peraturan yang berlaku bagi para pengunjung. Ruang utama MEI berbentuk labirin dengan luas 1600 meter pesegi, dengan lima lorong yang masing-masing berisi tiga sampai empat etalase kaca untuk menyimpan benda koleksi.
Teknologi Tradisional Nusantara
Museum ini digagas oleh seorang ilmuan yang juga ketua Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang LIPI), Prof. Sarwono Prawiroharjo pada 1962. Pada saat itu, Prof Sarwono menyadari pentingnya sebuah wadah untuk menyimpan dan melestarikan teknologi dan ilmu pengetahuan lokal dari seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia. Pada 1973, diadakan sebuah pertemuan di Puslitbang Biologi yang dihadari oleh para ilmuan, yang tidak saja datang dari bidang pertanian, tetapi juga Antropologi, Kemasyarakatan, Biologi, dan Museumologi untuk mematangkan konsep museum tersebut. Sejak saat itu dimulai usaha untuk mengumpulkan barang-barang yang kelak akan menjadi koleksi museum tersebut.
Istilah etnobotani, pertama kali dipopulerkan oleh Dr. J.W. Harshberger pada 1595. cabang dari Ilmu Pertanian ini mempelajari tentang tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obat-obatan, pakaian, perkakas, dan bangunan, serta sesaji dalam upacara adat. Barang-barang yang dipamerkan di museum ini berasal dari penjuru Nusantara. Pada 1982 Museum Etnobotani Indonesia mulai beroperasi bersamaan dengan peresmian bangunan tersebut oleh Prof. B.J. Habibie, bertepatan dengan peringatan 165 tahun berdirinya Kebun Raya Bogor (KRB).
Koleksi yang dipamerkan di MEI adalah barang-barang berbahan dasar tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat, terutama suku-suku bangsa di seluruh Indoensia. Artinya berbagai teknologi tradisional dan kreasi ilmu pengetahuan lokal, seperti bahan pangan, sandang, papan, obat-obatan tradisional, alat rumah tangga, alat transportasi, alat pengolah pertanian, perikanan, alat musik, sarana upacara adat, mainan anak, dan juga kosmetik tradisional yang keseluruhan berbahan dasar tumbuh-tumbuhan dipamerkan di museum itu. Sebelum 2006 ,museum ini sudah memiliki sekitar 2.000 benda yang dipamerkan. Koleksi ini semakin bertambah setelah PT. Eisai, mitra kerja LIPI dari Jepang yang berkonsentrasi pada ekspolarasi tumbuh-tumbuhan di Indonesia, menghibahkan berbagai koleksi baru pada 2006. Sampai sekarang terdapat 5.118 simplisia, 169 koleksi hidup dan 2450 herbarium spesimen yang menjadikannya tempat penyimpanan paling lengkap dan satu-satunya di Indonesia.
Oleh karena berbahan dasar tumbuh-tumbuhan yang mudah membusuk maka koleksi-koleksi yang dipamerkan kemudian diawetkan. Ada dua jenis cara pengawetan yang dilakukan, yaitu pengawetan kering dan pengawetan basah. Pengawetan kering dilakukan hampir untuk semua koleksi, sedangkan pengawetan basah hanya terbatas pada sampel buah-buahan. Selain itu, barang-barang yang dipamerkan pun terbagi atas barang-barang yang dipamerkan secara langsung dan barang-barang yang dipamerkan di etalase kaca. Barang-barang yang berbahan dasar keras dengan tekstur yang solid dan dapat diraba dengan tangan dipamerkan di bagian depan museum, sedangkan barang-barang langka, bertekstur lembut dan mudah rusak apabila disentuh dipamerkan di etalase kaca yang berjejer di sepanjang lorong museum. Setiap jenis barang yang dipamerkan diberi nama, kegunaan, dan informasi tentang tumbuhan apa yang menjadi bahan dasar pembuatnya.
Selain itu, hal lain yang menarik dari museum tersebut adalah tata pencahayaan ruangan tersebut. Para pengunjung pasti akan terheran-heran bercampur takut karena seluruh ruangan museum ini gelap gulita, hanya terdapat beberapa sorot cahaya lampu di lorong-lorong museum yang menerangi koleksi tertentu. Namun demikian, penataan cahaya ini sengaja dilakukan oleh oleh desainer museum tersebut, selain untuk memfokuskan objek koleksi tertentu kepada para pengunjung. Sampai sekarang ada dua koleksi yang selalu menjadi perhatian para pengunjung, yaitu kain kafan suku dayak dan Rafflesia Arnoldi. Koleksi kain kafan yang terbuat dari daun pandan ini sudah sangat langka dan tidak digunakan lagi karena sebagain besar Suku Dayak telah meninggalkan agama tradisionalnya dari beralih ke agama Kristen, sedangkan koleksi Rafflesia Arnoldi sudah tidak dipamerkan lagi karena telah dipindahkan ke Cibinong.
Nasib Museum Etnobotani
Mengeliatnya Industri Pariwisata di Kota Bogor ternyata tidak berdampak positif terhadap perkembangan pariwisata ilmiah. Kecuali Kebun Raya Bogor, yang lebih banyak digunakan sebagai tempat berkumpul dan piknik keluarga tanpa mengindahkan nilai edukasinya, dapat dikatakan mobil-mobil Jakarta dan warga Bogor sendiri terkesan menafikan keberadaan berbagai museum dan monumen bersejarah di kota ini. Mereka hanya tertarik pada wisata belanja dan makanan karena lebih cepat memberikan kepuasan instan. Begitulah nasib kebudayaan adiluhung yang semakin tergusur oleh produk kebudayaan populer yang menawarkan kenikmatan yang instan.
Pada sisi lain, sebenarnya, keberadaan Museum Etnobotani di Kota Bogor memegang peranan yang cukup penting bagi pelestarian lingkungan, termasuk isu global warming yang melanda planet bumi. Apalagi fungsi dan kedudukan Kota Bogor sejak masa kolonial sampai sekarang sebagai kota pusat penelitian Biologi, Pertanian, dan Peternakan. Meningkatnya suhu udara dan polusi di Kota Bogor, bukan saja menandakan berkurangnya fungsi Kebun Raya Bogor sebagai paru-paru kota, akan tetapi juga penggunaan peralatan-peralatan sehari-hari yang tidak ramah lingkungan, terutama peralatan dari plastik yang sulit dibusukkan
Dengan berkunjung ke MEI, masyarakat akan berpikir untuk menggunakan barang kebutuhan sehari-hari yang ramah lingkungan dan sehat bagi tubuh. Sebagai gantinya, mereka dapat memanfaat teknologi tradisional yang ada dan masih memungkinkan untuk dipakai yang sebagian besar disimpan di Museum Etnobotani. Pemanfaatan teknologi tradisional, pada sisi lain, juga mengurangi ketergantung pada produk impor dan memberdayakan kembali barang buatan dalam negeri, yang juga merangsang bangkitnya sektor usaha rumahan, tempat barang-barang itu diproduksi. Dengan demikian, tercapailah tujuan dari MEI, yaitu mendokumentasi pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya tumbuhan serta pengungkapan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi lokal untuk dikembangkan menjadi komoditi nasional dan global.
Museum Etnobotani, sama seperti nasib museum-museum lainnya di Kota Bogor, jauh dari keramaian pengunjung. Dengan jam operasional yang cukup panjang, mulai pukul 08.00-16.00 WIB, dan kompensasi biaya yang relatif murah, seribu rupiah, seharusnya banyak pengunjung yang datang bukan hanya sekedar berwisata, tetapi juga belajar tentang keanekaragaman budaya Indonesia. Pada kenyataannya, dalam waktu dua bulan belum tentu ada pengunjung individual yang datang, paling-paling hanya pengujung rombongan yang sesekali menyambangi tempat ini. Alhasil, para pegawai museum, yang terdiri atas seorang pimpinan, tiga orang kurator edukasi, dan seorang petugas kebersihan, lebih banyak mengangur dan seringkali meninggalkan pekerjaan mereka, termasuk dalam urusan menyambut tamu yang datang berkunjung.
Pihak pengelola Museum Etnobotani pun harus berbenah, untuk mengemas tempat ini menjadi objek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Berbagai problem klasik, seperti tempatnya yang terpencil, kurangnya publikasi, dan minimnya papan penunjuk arah mengakibatkan sebagian wisatawan dan masyarakat Kota Bogor tidak mengetahui letak persis museum itu, apalagi barang-barang yang dipamerkannya di dalamnya. Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata Kota Bogor juga harus turun tangan menganggapi permasalahan serius ini. Jangan hanya memerhatikan pariwisata artifisial yang semakin menyemerawutkan Kota Bogor. Solusi kongkritnya adalah membuat dan menawarkan sebuah program kunjungan yang mencakup berbagai museum dan monumen di Kota Bogor kepada masyarakat luas.